Seorang ibu muda berdiri mengacungkan tangannya untuk bertanya dalam sebuah seminar saya pekan lalu. Dia menanyakan tentang anak laki lakinya berusia 16 tahun yang mengalami perubahan yang sangat drastis dan tidak masuk akal mereka sebagai orang tua. Sejak kecil anaknya ini dikenal sangat patuh, baik, alim, suka mengaji dan bahkan sering jadi imam baik disekolah maupun dirumah. Tapi akhir akhir ini dia mogok semua, bukan hanya jadi imam tapi bahkan mengaji dan sholat ditinggalkan. Kemudian, ibu ini mengakui bahwa mereka tadinya sangat sibuk, terutama suaminya. Pendek cerita, dalam menghadapi situasi anaknya ini mereka kemudian menyadari dan mengurangi aktifitasnya dan ayah mulai mencoba mendekati anaknya, tetapi tak nampak adanya perubahan pada anaknya tersebut. Saya menangkap kegalauan yang sangat dari wajahnya dan mengerti mengapa dia “hilang malu” terhadap lebih dari 500 lebih audiens lainnya ketika menceritakan tentang anaknya ini.
Seorang ibu lainnya bertanya hal yang sama dengan cara yang sedikit berbeda. Dia menanyakan bagaimana deal dengan “inner childnya” agar dia bisa memperbaiki hubungan dengan anak laki lakinya yang berusia 10 tahun. Ibu ini juga mengakui dengan air mata bahwa waktunya dengan anaknya tersebut sangat terbatas karena dia bekerja dan suaminya sering keluar kota. Kemudian saya tahu bahwa anaknya ini sudah pernah membentak dan bahkan ingin memukul ayahnya .
Tak pernah lupa saya akan wajah seorang lelaki muda( 30 tahun) yang duduk didepan saya sekitar 8 tahun yang lalu, dengan wajah berat tapi hampa. Dia menjawab pendek pertanyaan saya: ”Apa yang membawa anda kesini, bertemu saya?” dengan :”Disuruh ibu saya bu!”. Saya menaikkan alis tanda terkejut tapi memberinya senyum lebar. Dia menceritakan dengan menahan tangis, bahwa ibunya nyaris putus asa untuk mencoba mendekatkan dia dengan ayahnya. Dia juga sedih sama ibunya dan bahkan pernah marah. Ia tahu bahwa ibunya menyadari mengapa dia tak pandai mengambil keputusan, tak bisa bertahan lama pada suatu pekerjaan dan bahkan tak pernah berhasil dalam hubungan dengan lawan jenis, semua berasal dari ke”tidak beres”an hubungannya dengan ayahnya.
Terakhir adalah salah satu pasien kami: anak super cerdas , lulusan PT ternama tetapi sudah sejak kelas 4 berkenalan dan kemudian adiksi berat pornografi. Dia punya hubungan buruk sekali dengan ayahnya dan juga ibunya. Ayahnya menghilang tak tentu rimba. Dan dia sudah bertahun tahun tak pernah jumpa. Yang paling menyedihkan adalah terakhir ini dia sudah langsung menyampaikan kepada kami complainnya terhadap Tuhannya. Ia berkeluh kesah mengapa Tuhan itu begini dan mengapa Tuhan itu begitu sehingga dengan aturan aturan yang ditentukan Tuhan dia merasa terhambat ini dan terhambat itu. Padahal disisi lan dia ingin sekali jadi hamba yang patuh pada aturan Allahnya. Dia ingin keluar dari kontradiksi berat yang dia alami.
Saya faham betul semua perasaannya itu berpangkal pada kekecewaannya, ketidak pengertiannya mengapa ayahnya meninggalkannya dan tak pernah berkabar berita. Tapi dilain pihak ia juga merindukannya, dan berharap sekali waktu akan berjumpa. Tapi harapannya itu seringkali kandas dan hampa..
Kekosongan jiwa anak dari Vitamin A ( ayah ) ini telah lama merupakan derita jiwa bagi saya. Tak tertanggungkan rasanya ketika menghadapi pertanyaan, keluhan para ibu di seminar, pelatihan dan juga pengalaman langsung dengan ibu dan anak anak diruang ruang praktek saya puluhan tahun lamanya.
Disisi lain, masha Allah Tabarakallah, saya juga tak terhitung berhadapan dengan berbagai jenis ayah dalam upaya memperbaiki hubungan ayah – anak ataupun membantu anak mereka keluar dari masalahnya. Tetapi pengalaman panjang itu menghantarkan saya pada pengertian, memang seperti cara kerja otaknya yang lebih kuat sebelah kiri, ayah tak mudah berubah. Perubahan yang paling maksimal yang umumnya dilakukan adalah ayah melakukan kontak fisik, tapi sangat sulit dan berat bagi beliau untuk “menyapa rasa!”
Ditulis oleh Elly Risman Musa, Psikolog
Bersambung