Oleh: Dr. Adian Husaini
“Demi waktu. Sungguh manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, dan saling memberi nasehat dengan kebenaran dan kesabaran.” (QS al-Ashr).
***
Dalam berbagai diskusi dengan para praktisi pendidikan, saya menyampaikan gagasan, bahwa pendidikan adalah sebuah aktivitas perjuangan (jihad bil-ilmi). Pendidikan tidak bisa dibisniskan, sebab pasti akan merugi. Berapa pun besar harta yang didapat dari aktivitas pendidikan itu.
Begini kalkulasinya. Seorang guru mengajar keimanan dan cara membaca surat al-Fatihah dengan benar. Dengan itu, si murid bisa shalat dengan benar, dan bisa masuk sorga. Jika tidak tahu ilmu shalat, maka shalatnya tidak sah dan si murid akan berdosa dan harus terlempar ke neraka.
Maka, kita pikirkan, berapa harga yang pantas dibayarkan untuk “membeli” sorga? Berapa bayaran yang pantas diberikan kepada sang guru
tersebut? Karena itulah, berapa pun bayaran untuk sang guru, pasti tidak bisa untuk membeli sorga.
Dengan logika ini, maka bisnis pendidikan pasti rugi. Karena itu, jika guru mengajar dengan niat untuk mencari dunia, maka pasti ia akan mendapatkan bayaran kurang dari yang sepatutnya ia terima.
Dalam perspektif inilah, maka seorang guru, pada hakikatnya adalah seorang mujahid intelektual. Guru itu pejuang intelektual. Guru bukan tukang ngajar bayaran. Inilah pentingnya guru dan pengelola lembaga pendidikan memiliki pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) yang benar. Yakni, worldview yang memahami hakikat ilmu, manusia, dan kehidupan dengan benar.
Itu dari perspektif guru. Dengan worldview yang benar, apa yang dilakukan guru adalah amal ibadah yang sangat tinggi nilainya. Ilmu yang bermanfaat akan menjadi pahala yang terus mengalir (amal jariyah). Karena itu, guru akan berusaha belajar dan mengajar sebaik-baiknya, agar ilmunya bermanfaat.
Sebagai pejuang di jalan Allah, para guru sudah dijanjikan akan diberikan pertolongan oleh Allah dan diteguhkan kedudukannya. “Wahai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama Allah) maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad: 7).
Sebagai pejuang, “atasan” langsung dari para guru adalah Allah SWT. Jika mereka menghadapi masalah, berdoalah kepada Allah. Jangan bergantung kepada pemerintah, kepala sekolah, atau ketua yayasan.
Jika mereka terzalimi, dan hak-haknya tidak diberikan secara layak, maka doa para guru itu semakin berpotensi dikabulkan Allah SWT. Karena itu, siapa pun, jangan sampai menzalimi guru. Apalagi, sampai memandang dan memperlakukan guru seolah-olah seperti “orang suruhan” untuk mendidik anaknya.
Dalam perspektif kebangkitan peradaban, guru menjadi kuncinya. Inilah ungkapan terkenal dari Mohammad Natsir: “Suatu Bangsa Tidak Akan Maju, Sebelum Ada Diantara Bangsa Itu Segolongan Guru Yang Suka Berkorban Untuk Keperluan Bangsanya.” Karena itu, tidak salah jika dikatakan, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Bahwa guru adalah pelita dalam kegelapan.
Jadi, menjadi guru bukanlah pekerjaan biasa. Ia harus selalu ikhlas, cinta dan semangat untuk mendidik. Ia pun berusaha terus meningkatkan keilmuan dan pengalamannya dalam pendidikan. Guru tidak boleh lelah untuk mendoakan para muridnya agar meraih ilmu yang bermanfaat dan menjadi anak-anak yang shaleh.
***
Itu dari perspektif guru. Lain lagi dengan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Sebagai pejuang intelektual, maka guru harus diberikan perhatian besar, baik secara kualitas keilmuan, akhlak, maupun penghasilan. Pejuang inelektual patut mendapat penghargaan yang tinggi. Tidak boleh mereka dibiarkan hidup menderita atau ditelantarkan.
Guru itu selamanya guru. Tidak perlu ada istilah “Guru Tidak Tetap” atau “Guru Honorer”. Meskipun guru itu statusnya bukan pegawai negeri, tetapi ia tetap guru. Guru itu tetap guru, meskipun ia juga berjualan nasi pecel atau menjalankan ojek online. Guru itu tetap guru bagi muridnya, meskipun si murid sudah lulus dari suatu lembaga pendidikan, tempat ia belajar.
Jadi, kewajiban pemerintah adalah memberikan kehidupan yang layak bagi para guru. Jika tidak mampu, pemerintah sepatutnya bekerjasama dengan masyarakat untuk menghimpun donasi bagi kesejahteraan para guru. Tapi, pemerintah juga berkewajiban mendidik para guru agar mereka menjadi guru teladan yang bervisi akhirat.
***
Pendidikan pada hakikatnya adalah proses pembinaan manusia menjadi manusia seutuhnya; menjadi manusia yang baik (insan adaby atau insan berakhlak mulia). Syekh az-Narnuji, dalam Kitab Ta’limul Muta’allim, menyebutkan bahwa tiga pihak menjadi penentu suksesnya pendidikan, yaitu guru, murid, dan orang tua/wali murid.
Tiga pihak itu harus memiliki visi dan pandangan yang sama tentang pendidikan. Bahwa, tugas utama pendidikan adalah pada orang tua. Guru bertugas membantu dan melengkapi tugas orang tua. Dalam hal ini, hubungan antara orang tua dengan guru adalah hubungan “ta’awun” (saling tolong-menolong); bukan proses transaksi bisnis yang menempatkan orang tua sebagai pelanggan (customer).
Dalam perspektif ini, maka sangat merugi jika orang tua yang berkemampuan dalam ekonomi tidak memberikan dukungan besar dalam proses pendidikan anak-anaknya secara finansial. Semakin besar mereka berinfak untuk jihad fi-sabilillah dalam bidang keilmuan ini, maka semakin besar pula tabungan amalnya di akhirat.
Perjuangan untuk melahirkan kader-kader pemimpin umat dan bangsa adalah amal ibadah yang sangat strategis dan sangat besar pahalanya. Dalam hal ini tidak perlu ada hitung-hitungan harga seperti dalam jual beli barang. Dalam perspektif sekuler (duniawi), membayar infak pendidikan dipandang sebagai kehilangan uang. Tapi, dalam perspektif ibadah dan balasan di Hari Akhir, maka infak yang besar dan ikhlas itulah yang justru tidak hilang.
Jadi, begitu mulianya suatu proses pendidikan yang bertujuan melahirkan generasi rabbani. Maka, kita – bersama-sama — berkewajiban menyukseskan program yang sangat mulia ini. “Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar, dan berilah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah bahwa yang salah itu salah dan berikanlah kemampuan kepada kami, untuk meninggalkannya.” Aamiin