News

Melahirkan Ulama dan Umara dari Keluarga

Dalam Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasulullah saw: ”Ulama adalah pewaris para nabi” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah). Karena itu, Rasulullah saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus dilakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik.

Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).

Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah.

Karena begitu pentingnya peran ulama sebagai pewaris Nabi, maka ulama harus memiliki kriteria sebagaimana sifat-sifat para Nabi, yaitu jujur, amanah, cerdas, dan tabligh. Ditambah lagi, ulama harus zuhud (tidak cinta dunia), memiliki kepedulian yang tinggi terhadap umatnya, memiliki kemampuan leadership, dan juga memahami pemikiran kontemporer yang bisa merusak aqidah dan akhlak kaum muslimin.

Ulama adalah produk pendidikan. Ulama tidak dilahirkan atau turun dari langit begitu saja. Ulama lahir dari sebuah proses pendidikan yang panjang. Posisi ulama sebagai pemimpin umat, tidak lahir dari Perguruan Tinggi atau pesantren. Tapi, ia lahir dari dinamika kehidupan masyarakat.

Disamping ulama, umara juga memegang peran penting dalam perbaikan masyarakat. Seperti dikatakan Imam al-Ghazali: ”Rakyat rusak karena umara rusak. Umara rusak karena ulama rusak. Dan ulama rusak, karena cinta harta dan kedudukan.”

Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua pilar itu harus mendapatkan perhatian yang penting dan harus ditempatkan dengan adil. Karena itu, usaha untuk melahirkan ulama dan umara, perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari umat Islam. Lembaga pendidikan Islam, baik keluarga, masjid, madrasah, pesantren, atau Perguruan Tinggi harus berusaha serius untuk melahirkan para ulama dan umara.

Tanggung jawab orang tua

Rasulullah saw: “Setiap anak dilahirkan dalam fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Bukhari).

Hadits Nabi saw tersebut menjelaskan, betapa pentingnya kemampuan orang tua menjadi guru (pendidik). Maka, sangat aneh, jika dunia pendidikan kita justru tidak menjadikan pembentukan orang tua yang baik, sebagai tujuan utamanya.

Sebagai manusia, tugas utama orang tua bukan hanya mencarikan makan untuk diri dan anak-anaknya, tetapi yang lebih penting lagi adalah mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang baik, sebagai hamba Allah dan sebagai khalifatullah fil-ardh, serta menjadi pelanjut perjuangan para nabi.

Jangan sampai – tanpa sadar – orang tua justru menjadikan anak-anaknya memiliki sifat-sifat seperti kaum Yahudi, Nasrani, atau Majuzi. Sebagai contoh, salah satu sifat kaum Yahudi yang disebutkan dalam al-Quran adalah sifat materialis dan kecintaan terhadap dunia yang sangat berlebihan. (QS 2: 55, 96).

Untuk dapat mendidik anak dengan benar tentu memerlukan ilmu yang mencukupi. Sangat aneh jika untuk dapat mencari makan dengan baik, orang tua mau mengerahkan segenap kemampuan intelektual dan materialnya, tetapi untuk menyelamatkan diri dan anak-anaknya dari api neraka, dan agar mereka tidak menjadi Yahudi atau Nasrani, justru dilakukan kurang serius.

Padahal, Rasulullah saw sudah mengabarkan, bahwa: “Hak anak atas orang tuanya (kewajiban orang tua terhadap anaknya) adalah memberi nama yang baik, memberi tempat tinggal yang baik, dan memperbaiki adabnya.” (HR. Baihaqi).

Jadi, memperbaiki adab anak (memberikan pendidikan yang benar) adalah kewajiban utama orang tua terhadap anak. Dengan kata lain, memperoleh pendidikan yang benar adalah hak anak. Hak itulah yang nanti akan dituntut oleh anak-anak kita di akhirat. Sebab, di akhirat nanti, tiap-tiap orang akan menuntut haknya dan setiap orang akan sibuk dengan urusan dirinya sendiri. (QS 80: 34-37).

Tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak-anaknya diperintahkan dalam QS 66:6: “Wahai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. Disebutkan dalam Tafsir Ibn Katsir, bahwa makna ayat itu adalah: “addibuuhum wa ‘allimuuhum”. Yakni, didiklah anak-anakmua menjadi orang-orang beradab dan berilmu.

Dalam proses “penanaman adab” orang tua memiliki peran yang sangat menentukan, sebab proses penanaman itu memerlukan ketaladanan, pembiasaan, dan penegakan disiplin aturan. Dalam ketiga proses itu diperlukan peran yang besar dari para orang tua.

Sedangkan perintah untuk mencari ilmu, maka orang tua pun perlu serius mendidik anak-anaknya agar menjadi orang berilmu. Karena, kata Nabi saw: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Kewajiban itu harus dilakukan dengan cara yang benar pula.

Disamping niat mencari ilmu yang harus benar, dalam ajaran Islam, dikenal ‘maraatibul ilmi’ (derajat ilmu). Ada ilmu fardhu ain, yang wajib dipelajari setiap muslim; ada ilmu yang fardhu kifayah yang wajib dimiliki sebagian orang muslim. Tidak semua ilmu wajib dicari.

Rasulullah saw mengabarkan, bahwa manusia itu seperti barang tambang; seperti emas dan perak. Jangan sampai salah menempanya, sehingga kurang optimal hasilnya. Jika anak-anaknya termasuk kategori pintar, maka didiklah mereka menjadi ilmuwan (ulama) yang memiliki keimanan yang kokoh dan akhlak yang mulia. Jangan sampai salah mendidik anak-anak pintar, dengan mengarahkan mereka menjadi “tukang cari duit” semata.

Semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka semakin berat pula tanggung jawab mendidiknya. Ia harus mempelajari berbagai bidang ilmu agar bisa menjalankan tugasnya sebagai ulama dengan baik.

Jika anak-anaknya tergolong yang kurang cerdas, didiklah mereka dengan adab dan ilmu-ilmu yang fardhu ain. Lalu, tambah dengan satu keahlian bidang tertentu, agar mereka menjadi orang yang mandiri dan berguna bagi masyarakat.

Semoga kita dapat menjalankan kewajiban dalam mendidik anak-anak kita dengan benar. Sebab, ini amanah yang akan dipertanggungjawabkan di Akhirat kelak. Aamin.

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.