News

Mendidik Anak Lewat Cara Bertanya

“Sudah berkali-kali Ibu bilang…”
“Kamu ngga pernah dengerin omongan Ibu ya…”
“Kayaknya semua yang Ayah katakan cuma masuk telinga kanan terus keluar telinga kiri?!”
Seberapa banyak kalimat di atas diucapkan orang tua kepada anak-anaknya? Seberapa sering orang tua “membilangi” anak-anaknya? Seberapa efektif sebenarnya kalimat-kalimat itu bagi anak-anak?
Sebagai orang tua, tentu kita memahami bahwa salah satu tugas orang tua adalah mengajar anak-anak. Setiap orang tua pasti ingin sekali memberitahukan apa yang mereka ketahui kepada anak-anaknya. Orang tua sangat ingin membantu anak-anaknya menghindari rasa sakit dan putus asa akibat kesalahan yang pernah dibuat. Kalimat-kalimat di atas mungkin dimaksudkan untuk tujuan tersebut, mengajarkan kepada anak tentang suatu hal.
Kadangkala orang tua merasa memiliki begitu banyak informasi penting dan kebijaksanaan serta segudang pengalaman yang perlu diketahui oleh anak. Lalu, mulailah orang tua mengajarkan hal-hal tersebut kepada anak melalui cara-cara seperti di atas, “membilangi”, meminta anak untuk “mendengar” ataupun dengan cara “menasehati”.
Namun dalam kenyataan sering ditemui cara-cara tersebut tidak lagi efektif untuk mengajar anak-anak. Jika orang tua masih menggunakan cara ini, artinya mereka masih memakai cara “lama” dalam mengajar yaitu memberi tahu… dan memberi tahu… serta memberi tahu lebih banyak lagi, setelah itu mereka bertanya-tanya, “mengapa anak-anak tidak juga mengerti?”
Cara mengajar anak seperti ini, bukan hanya membuat anak-anak tidak mengerti, namun pesan-pesan apa yang akan mereka dapat ketika orang tua selalu mendiktekan apa yang harus dilakukan anak?
Kini, telah diketahui bahwa cara “baru” yang efektif dalam mengajar anak-anak adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehingga anak akan mengerti dan memahami maksud pesan yang akam disampaikan.
Sebagai contoh. Seorang ibu muda yang memiliki anak berusia empat tahun merasa kewalahan dan frustasi saat menyuruh anaknya untuk tidur siang, karena ia berpikir anak usia empat tahun masih butuh untuk tidur siang. Ia menyuruh anaknya untuk tidur siang mulai dari kata-kata yang halus sampai cara keras seperti memaksa anaknya untuk tidur siang. Namun, reaksi si anak selalu bertolak belakang dengan harapan ibunya, menunda dengan kalimat “nanti Mah…” atau bahkan menolak, “ngga mau..!”
Semakin keras orang tua menyuruh dan mendikte anak dapat berakibat semakin keras pula penolakan dati anak.
Ibu muda ini harusnya menggunakan cara “baru” dalam mengajar anak. Ajukan pertanyaan, “Kak… menurut Kakak, kenapa sih tidur siang itu penting?”
Dan tugas orang tua setelah itu adalah mendengarkan jawaban anak, apa adanya. Jangan melihat apakah jawaban itu masuk akal bagi orang tua atau aneh menurut orang tua atau apa pun pandangan kita. Tapi harus dipahami bahwa itu adalah jawaban miliknya, alasan miliknya dan orang tua harus  siap menerima sepenuhnya jawaban tersebut. Dengan demikian lalu orang tua bisa memasukkan pesan-pesan yang ingin diterima oleh anak, tanpa harus berbantah-bantahan dan ngotot-ngototan. Dan anak pun akan siap untuk tidur siang tanpa banyak membantah.
Orang tua tidak mungkin bisa mengendalikan pengalaman-pengalaman yang akan dihadapi anak-anaknya kelak, tetapi sebagai orang tua kita dapat membekali dan mempersenjatai mereka dengan limpahan anugerah pengajaran yang akan membuat mereka mampu mengatasi masa-masa sulit dalam hidupnya kelak.
Cara terbaik untuk mengajarkan anak adalah dengan mengajukan pertanyaan, bukan memberi tahu. Setiap orang tua pasti memiliki keinginan untuk memberikan kemampuan pada anak agar mampu membuat keputusan bijak, kemampuan untuk berpikir sendiri. Namun, bagaimana mereka akan mendapatkan hal tersebut, jika sebagai orang tua kita selalu memberi tahu apa yang harus mereka lakukan? Bagaimana mereka kemudian bisa belajar berpikir sendiri?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.