Oleh: Dr. Adian Husaini
Hiruk pikuk pemberitaan media massa tentang pandemi dan pendidikan kita masih didominasi soal Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah. Yang dibahas masih hal-hal belum terlalu substansial. Jika pademi berakhir pun, model pembelajaran di sekolah akan tetap berubah, menyesuaikan dengan era serba internet saat ini.
Padahal, jika kita renungkan, pandemi Covid-19 ini sebenarnya memaksa kita untuk kembali kepada jati diri pendidikan kita sendiri. Di saat pandemi, kita punya waktu yang lebih luluasa untuk berpikir serius tentang pendidikan kita secara substansial. Ada sejumlah hal mendasar yang perlu kita pikirkan.
Pertama, hakikat dan tujuan pendidikan. Hakikat dan tujuan pendidikan adalah proses penanaman nilai-nilai kebaikan agar para murid menjadi manusia yang cinta ilmu dan kebaikan. Para orang tua dan guru harus menekankan bahwa tujuan pendidikan yang utama bukanlah: “nanti kamu kerja dimana dan berapa besar penghasilanmu, tetapi jadilah kamu orang baik, jadilah orang yang berguna bagi sesama!”
Penanaman kecintaan dan kebanggaan yang berlebihan pada aspek-aspek materi akan berdampak buruk pada pemujaan terhadap kekayaan, jabatan, dan popularitas sebagai indikator kesuksesan hidup yang utama. Akhirnya, sejak di sekolah, berbagai cara-cara yang tidak terpuji bisa terjadi. Demi mengejar sekolah atau kampus yang dianggap unggulan, kejujuran dan kasih sayang pada sesama dikorbankan untuk kepentingan pribadi.
Dalam soal inilah pendidikan akhlak atau karakter harus dilakukan secara serius. Dan sesuai dengan pasal 31 (3) UUD 1945, maka yang paling mendasar adalah menanamkan iman dalam diri peserta didik. Seluruh jajaran pemerintah – pusat sampai daerah — pun dituntut menjadi contoh (teladan) dalam soal kejujuran, keikhlasan, kerja keras, dan kecintaan pada sesama.
Pendidikan harus melahirkan orang-orang baik. Nilai-nilai kejujuran, kerja keras, keberanian, kesabaran, keikhlasan, budaya pengorbanan, cinta kasih sayang pada sesama, harus benar-benar ditanamkan pada para murid, sehingga mereka akan muncul menjadi pribadi-pribadi cemerlang di tengah masyarakat. Ketinggian ilmu pengetahuan dan kepiawaian dalam bidang-bidang keterampilan harus dipandu dengan akhlak yang mulia.
Karena itulah, sepatutnya kompetensi akhlak mulia harus menjadi kriteria utama dalam penerimaan calon mahasiswa di Perguruan Tinggi, bukan hanya nilai akademiknya. Kita sudah merasakan, bahwa krisis dalam berbagai bidang kehidupan saat ini, terjadi terutama bukan karena kita tidak memiliki orang pintar. Pakar-pakar kita berjubel jumlahnya dalam berbagai bidang.
Kita tidak kekurangan pakar dan ilmu pengetahuan dalam cara pengelolaan sumber daya alam kita yang melimpah. Datanglah ke UI, ITB, IPB, UGM, ITS, Unair, Unpad, dan sebagainya. Ribuan artikel tentang teknologi pengelolaan laut kita sudah ditulis oleh para guru besar, doktor, juga para mahasiswa di berbagai kampus tersebut dan ratusan kampus lainnya.
Kini, para profesor dan para pakar yang kepintarannya luar biasa, harus menerima kenyataan, bahwa mereka dipimpin oleh seorang anak muda kreatif dan berani bernama Nadiem Anwar Makarim. Manteri Nadiem pun sudah meluncurkan program Kampus Merdeka. Semoga program ini akan mampu memicu perubahan lebih mendasar dalam dunia Perguruan Tinggi kita. Jangan sampai program ini pun akhirnya dijadikan proyek bagi-bagi bantuan kepada kampus dan dosen, yang ujung-ujungnya para dosen dibuat sibuk membuat laporan penggunaan dana bantuan Kampus Merdeka tersebut.
Kedua, pemerintah dan para insan pendidikan jangan terjebak pada penyempitan makna pendidikan disamakan dengan “sekolah”. Sekolah pun HANYA dimaknai sebagai tempat pelatihan untuk menyiapkan para calon karyawan agar bisa meraih pekerjaan bergengsi. Hubungan orang tua dan sekolah diatur layaknya sebagai institusi bisnis.
Justru, menghadapi era serba internet saat ini, peran terbesar pendidikan harus digeser ke institusi keluarga. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperkuat institusi keluarga sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas. Pendidikan para calon orang tua yang berkualitas guru yang baik, perlu dilakukan. Ini bisa dimulai pada tingkat SMA.
Cara lainnya adalah dengan melakukan pemberdayaan para orang tua agar bisa menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya. Ini adalah proyek strategis untuk memajukan bangsa. Tugas orang tua yang utama bukanlah mengajarkan rumus-rumus matematika kepada anak-anaknya. Tapi, para orang tua harus menjadi teladan dan pembimbing dalam penanaman nilai-nilai akhlak mulia kepada anak-anaknya. Inilah yang ditekankan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Ketiga, perlu dilakukan strategi yang tepat untuk menumbuhkan budaya ilmu di sekolah dan kampus kita. Tujuan dan sekolah yang utama adalah untuk mencari ilmu, agar mereka menjadi orang baik dan bermanfaat. Karena itu, sejak tingkat SD atau SMP, baiknya para murid itu diajarkan buku-buku tentang ilmu dan kisah-kisah perjuangan para ulama atau ilmuwan.
Di Pesantren at-Taqwa Depok, misalnya, anak-anak murid tingkat SD dan SMP sudah diajarkan kitab-kitab huruf Arab Melayu tentang ilmu, seperti Kitab Adabul Insan dan Risalah Dua ilmu karya Habib Usman, Gunrindam 12 karya Raja Ali Haji, Adabul Alim wal-Muta’allim karya KH Hasyim Asy’ari, dan lain-lain. Tujuannya tak lain, agar anak-anak itu mulai mencintai ilmu dan cinta ilmuwan. Bahwa, menjadi ilmuwan atau ulama adalah cita-cita yang mulia, meskipun belum tentu hidupnya bergelimang harta. Dengan ilmu manusia meraih bahagia.
Budaya ilmu adalah asas kebangkitan suatu bangsa atau suatu peradaban. Inilah yang ditanamkan oleh al-Quran, sejak ayat-ayat pertama diturunkan. Rasulullah saw kemudian memberikan teladan bagaimana mendidik para murid beliau yang terbukti memiliki budaya ilmu yang tinggi dan akhlak yang sangat mulia.
Keempat, pemerintah perlu membentuk guru-guru model dan lembaga pendidikan guru terbaik, yang sesuai dengan era disrupsi. Para guru ini harus memiliki visi keakhiratan, juga visi perjuangan sebagai guru. Bahwa mereka adalah para pejuang (mujahid) intelektual yang menjadi contoh dalam bidang keilmuan dan pendidikan. Jangan terlalu terjebak dengan formalisme dan materialisme.
Biasanya, guru-guru sejati pendidik masyarakat itu tidak terlalu mementingkan aspek formalitas dan mengejar materi. Mereka yakin, bahwa rizki mereka sudah dijamin oleh Allah SWT. Namun, mereka adalah para pekerja keras dalam pendidikan karena mereka yakin, itu adalah amal ibadah yang sangat tinggi nilainya.
Berkali-kali para menteri pendidikan menjanjikan bahwa mereka akan meningkatkan kualitas guru. Tentu, karena semua yakin, bahwa kualitas guru – dalam berbagai kompetensinya – adalah yang paling menentukan kesuksesan pendidikan.
Lihatlah dan contohlah, bagaimana peran dan keteladanan guru-guru bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, A. Hassan, Syekh Soorkati, Mohammad Natsir, Panglima Soedirman, dan sebagainya.
Jadi, mumpung masih pendemi. Berpikirlah serius dan mendasar tentang pendidikan kita! Semoga Allah SWT membimbing dan melindungi kita semua. Aamin.