Dr. Adian Husaini
Dakwah adalah kewajiban setiap muslim. Rasulullah saw berpesan, bahwa siapa saja diantara kita yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisan. Dan jika tidak mampu, maka ingkar dengan hati. Itulah selemah-lemah iman.
Ada buku kecil yang ditulis oleh Mohammad Natsir berjudul “Di Bawah Naungan Risalah”. Buku ini merupakan panduan dakwah yang ringkas dan menyentuh pikiran dan perasaan. Dalam buku ini, Pak Natsir mengawali dengan kisah-kisah perjuangan Rasulullah saw dan para sahabat Nabi dengan indah.
Lebih penting lagi, kisah-kisah itu diuraikan makna dan nilainya dalam konteks perjuangan dakwah di masa kini. Maka, kisah-kisah dari sirah Nabawiyah itu menjadi gambaran dan panduan kehidupan yang praktis. Bisa kita katakan buku ini merupakan panduan praktis bagi para aktivis dakwah. Isinya banyak berupa kisah-kisah yang penuh hikmah.
Sebagai contoh, bacalah uraian Pak Natsir tentang hadits Nabi yang memerintahkan kita menanam korma, walau pun besok kiamat tiba. Juga, bacalah kisah tantang permintaan Pak Natsir kepada seseorang untuk menyumbang kain sarung bagi para tahanan eks-PKI.
Orang tersebut enggan membantu, dengan alasan, orang-orang eks PKI itu tentu shalatnya hanya pura-pura. Pak Natsir menjelaskan, bahwa seorang ahli politik biasanya melihat teman-teman separtainya baik semua. Sedangkan yang di luar partainya dilihat selalu buruk dan tidak bisa berubah.
Itu berbeda dengan dai. Begini uraian Pak Natsir: “Tetapi kalau seorang dai mencoba menumbuhkan benih kebaikan, yang sedang ditutup oleh kejahatan yang berlapis itu. Dengan harapan mudah-mudahan benih-benih kebenaran yang kecil itu akan mekar, bertambah lama bertambah kuat, untuk menaklukkan apa yang jahat yang ada di sekelilingnya, ibarat ujung-ujung urat pohon beringin yang walaupun bagaimana halusnya, sanggup membelah batu karang.”
Inilah ungkapan yang penuh hikmah. Dakwah tak boleh menyerah dan putus harapan, meskipun hambatan tampak begitu besar. Sebab, hidayah adalah urusan Allah. Kita hanya menjalankan kewajiban.
Pak Natsir menguraikan makna hikmah secara panjang lebar dalam buku Fiqhud Da’wah. Dalam buku ini Pak Natsir membahas masalah “hikmah” sepanjang 83 halaman, dari 347 halaman bukunya. Mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar, M. Natsir menjelaskan makna hikmah sebagai berikut:
“Ammal hikmatu fa-hiya fii kulli syai’in ma’rifatu sirrihi wa-faaidihi”
(Adapun hikmah adalah memahamkan rahasia dan faedah tiap-tiap sesuatu).
Arti lain: Fal-hikmatu hiya al-‘ilmu al-shahiihu al-muharriku lil-iraadati ilaa al-‘amali al-naafi’i.” (Hikmah adalah ilmu yang shahih (benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang bermanfaat).
Qamus Lisanul Arab memberikan pemahaman: “hakiimun: man yuhsinu daqaa’iqa al-shinaa’aati wa-yufqihumaa”.
Mohammad Natsir kemudian menyimpulkan makna hikmah: “Hikmah, lebih dari semata-mata ilmu. Ia adalah ilmu yang sehat, yang sudah dicernakan; ilmu yang sudah berpadu dengan rasa periksa, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, berguna. Kalau dibawa ke bidang da’wah: untuk melakukan sesuatu tindakan yang berguna dan efektif.”
Penjelasan Pak Natsir tentang hikmah dalam dakwah ini sangat penting, sebab beliau adalah tokoh dakwah yang diakui oleh dunia internasional. Pak Natsir bukan sekedar akademisi atau pengajar mata kuliah ilmu dakwah. Tetapi, beliau sudah terjun dalam dunia dakwah sejak usia belia. Sejak duduk di bangku SMA di Bandung, Natsir muda sudah aktif dalam organisasi dakwah (Jong Islamieten Bond/JIB).
Setelah itu, Pak Natsir terjun langsung berdakwah sebagai guru, dengan terus aktif dalam dunia dakwah dan pergerakan nasional. Sampai akhir hayatnya, M. Natsir tetap aktif berpikir dan bergerak dalam dunia dakwah. Beliau bergerak dalam berbagai bidang kehidupan: pendidikan, sosial, ekonomi, pemikiran, media massa, dan juga politik. Bahkan, sempat pula bergerilya di hutan.
Karena itulah, ilmu dakwah yang ditulis oleh Mohammad Natsir penting untuk dikaji oleh para aktivis dakwah. Buku Di Bawah Naungan Risalah ini melengkapi buku Fiqhud Da’wah yang sudah sangat terkenal dan menjadi panduan banyak aktivis dakwah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Pak Natsir menulis dalam buku Fiqhud Da’wah: “Bila kemampuan yang dinamakan ‘hikmah’ di bidang da’wah ini sudah dikuasai, maka petunjuk da’wah bil-hikmah itu diperlukan dalam menghadapi semua golongan, baik golongan cerdik cendekiawan, golongan awam, ataupun golongan yang suka bersoal jawab, bermujadalah. Dalam bahasa Indonesia seringkali “bil-hikmah” ini diterjemahkan dengan kata “bijaksana” atau “dengan kebijaksanaan.”
Di era disrupsi, dimana informasi dan ilmu pengetahuan begitu melimpah ruah seperti saat ini, kemampuan ‘hikmah’ ini sangat diperlukan dalam dunia dakwah. Sekali lagi, kita renungkan makna hikmah yang dirumuskan Mohammad Natsir: “Hikmah, lebih dari semata-mata ilmu. Ia adalah ilmu yang sehat, yang sudah dicernakan; ilmu yang sudah berpadu dengan rasa periksa, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, berguna. Kalau dibawa ke bidang da’wah: untuk melakukan sesuatu tindakan yang berguna dan efektif.”
Jadi, hikmah bukan sekedar ilmu; tetapi ilmu yang sudah dipadukan dengan kesadaran jiwa yang benar, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang berguna dan efektif. Dalam bahasa yang lebih sederhana, hikmah ini adalah pemahaman yang benar yang sudah menyatu dalam diri seseorang, yang mampu melahirkan perbuatan atau ucapan yang tepat dan bermanfaat.
Jadi, hikmah, bukan sekedar benar, tetapi benar dan tepat! Karena itulah Prof. Naquib al-Attas menyatakan, bahwa hikmah adalah sumber adab, dimana adab adalah perbuatan atau kelakuan yang betul (right action). Hikmah bukan hanya diberikan Allah kepada orang-orang pintar, tetapi diberikan Allah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, seperti para Nabi, orang-orang bijak seperti Lukman al-Hakim, dan sebagainya.
Di era melimpahnya informasi saat ini, setiap muslim dengan mudah bisa menjadi dai. Tetapi, dakwah perlu dibimbing oleh hikmah. Hikmah akan diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang tekun dan ikhlas dalam mengerjakan sesuatu. InsyaAllah, kita bisa belajar banyak dari salah satu karya Pak Natsir ini. Kita bisa mengambil hikmah dari berbagai kisah teladan dan gagasan-gagasan praktis dalam dakwah, sebagaimana yang disajikan Pak Natsir dalam buku ini. Semoga bermanfaat.