News

Pendidikan Akhlaq Bagi Anak Didik

Salah satu tugas yang diemban oleh pendidik adalah menanamkan nilai-nilai luhur budaya kepada anak didik, termasuk nilai-nilai keagamaan yang bersumber dari ajaran agama Islam. Hal ini perlu dilakukan oleh pendidik dalam upaya membentuk keperibadian manusia yang paripurna dan kaffah. Kegiatan pendidikan, harus dapat membentuk manusia dewasa yang berakhlak, berilmu dan terampil, serta bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan juga pada orang lain. Perlu dipahami, bahwa yang dimaksud dengan manusia dewasa disini adalah manusia yang dewasa secara jasmani dan rohani. Dalam pengertian syariat Islam, manusia dewasa secara jasmani dan rohani, adalah manusia yang beriman dan bertaqwa pada Allah swt., dan dapat mempertanggung jawabkan amal perbuatannya dimata hukum manusia dan dimata hukum Allah swt.

Kegiatan pendidikan ini dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan formal seperti di sekolah dan madrasah, juga dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan non formal yang ada dilingkungan masyarakat, seperti pengajian dimesjid ataupun latihan-latihan keterampilan, atau melalui lembaga pendidikan informal seperti pendidikan dirumah tangga dan keluarga. Melalui lembaga-lembaga pendidikan tersebut, tentu nilai-nilai luhur budaya manusia termasuk nilai akhlak yang berdasarkan syariat Agama Islam akan menjadi bagian dari keperibadian manusia.

Ada dua bentuk upaya yang dilakukan oleh kegiatan pendidikan dalam melestarikan suatu kebudayaan beserta nilai-nilai akhlak dan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yaitu apa yang disebut dengan transformasi nilai dan internalisasi nilai.

Bahwa yang dimaksud dengan upaya transpormasi nilai adalah, suatu upaya untuk mewariskan nilai-nilai yang dimiliki oleh generasi sebelumnya untuk menjadi milik generasi berikutnya. Sedangkan yang dimaksud dengan internalisasi nilai adalah suatu upaya untuk menanamkan nilai-nilai yang dimiliki oleh generasi sebelumnya sehingga tertanam kedalam jiwa generasi berikutnya.

Jadi upaya yang dilakukan oleh pendidik untuk mewariskan nilai-nilai akhlak kepada anak didik, sehingga nilai-nilai akhlak itu menjadi milik anak didik, disebut sebagai upaya mentransformasikan nilai, sedangkan upaya yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai akhlak kedalam jiwa anak didik sehingga menjadi kepribadiannya disebut dengan upaya menginternalisasikan nilai. Kedua upaya ini dalam kegiatan pendidikan harus dilakukan secara serempak lewat proses belajar mengajar dilingkungan sekolah, ataupun lewat proses pergaulan dan interaksi sosial di lingkungan rumah tangga dan masyarakat.

Tugas pendidikan pada umumnya, dan juga pendidik atau guru pada khususnya ialah menanamkan suatu norma-norma tertentu sebagai mana telah ditetapkan dalam dasar-dasar filsafat pada umumnya, atau dasar-dasar filsafat pendidikan pada khususnya yang dijunjung oleh lembaga pendidikan atau pendidik yang menyelenggarakan pendidikan tersebut.

Untuk itu, usaha yang dilakukan untuk menanamkan dan mewariskan nilai-nilai akhlak kepada generasi berikutnya oleh semua lembaga pendidikan, baik yang dilakukan oleh lembaga pendidikan formal, non formal ataupun informal, adalah merupakan patokan dasar dalam mengarahkan anak didik kepada perilaku atau sikap yang berjiwa Islami. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukan oleh Zuhairini tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan agama. Zuhairini mengatakan, bahwa pendidikan agama berarti usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam

Demikian juga hal nya dengan pendidikan akhlak. Dia harus diberikan kepada anak didik secara terencana dan sistematis, sesuai dengan konsep-konsep yang telah ditetapkan dalam ajaran syariat Islam. Adapun yang berperan dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai akhlak Islam disekolah ialah guru, sedangkan dirumah tangga ialah orang tua atau wali anak, sedangkan dilingkungan masyarakat adalah pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh pada umatnya. Disekolah, guru dan orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap terbina atau tidaknya akhlak anak, terutama guru agama yang memberikan pelajaran agama Islam di sekolah.

M. Arifin menyebutkan dalam kapita selekta pendidikan yang disusunnya, bahwa tugas guru tidak hanya memberikan pelajaran kepada anak saja, tapi juga harus terus menerus belajar. Disamping itu dalam praktek mengajar harus pula mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak-anak dan cinta kepada yang ia berikan. Perasaan tidak senang terhadap apa yang diberikan kepada anak, sudah pasti akan membawa rasa tidak senang pula pada anak yang bersangkutan. Lebih-lebih lagi guru agama yang sudah jelas bertugas menanamkan ide keagamaan kedalam jiwa anak. Perasaan cinta agama yang ada pada guru, besar pengaruhnya terhadap perasaan cinta anak kepada apa yang diberikan olehnya.

Untuk melaksanakan tugas-tugas (usaha) dalam menanamkan akhlak kepada anak didik banyak cara yang dapat dilakukan oleh setiap pendidik melalui berbagai sikap, antara lain :

a. Pergaulan

b. Memberikan suri tauladan

c. Mengajak dan mengamalkan.

Adapun yang dimaksud dengan pergaulan disini adalah pergaulan pendidikan. Untuk menanamkan akhlak dengan cara melalui sikap pergaulan, harus ada hubungan timbal balik antara pendidik dan peserta didik ataupun murid.

Praktek pendidikan bertitik tolak dari pergaulan pendidikan yang bersipat edukatif antara pendidik dan anak didik. Melalui pergaulan pendidikan itu, pendidik dan anak didik saling berinteraksi dan saling menerima dan memberi. Pendidik dalam pergaulan pendidikan memegang peranan penting. Dialah yang mengkomunikasikan nilai luhur akhlak Islam kepada peserta didik, baik dengan cara berdiskusi atau pun tanya jawab. Sebaliknya peserta didik dalam pergaulan pendidikan itu mempunyai kesempatan yang luas untuk menyampaikan hal-hal yang kurang jelas bagi dirinya. Dengan demikian wawasan mereka tentang ajaran syariat agama Islam semakin luas dan dalam, sehingga nilai-nilai akhlakul karimah atau akhlak yang terpuji akan terinternalisasi secara baik, dan tertransformasikan secara benar. Karena pergaulan yang erat antara pendidik dan peserta didik akan menjadikan keduanya tidak merasakan adanya jurang pemisah. Bahkan seorang peserta didik akan merasa terbantu oleh pendidik atau gurunya.

Dalam hal ini Ngalim Purwanto mengatakan, bahwa pendidik atau guru harus menyadari bahwa tindakan yang dilakukan mereka terhadap anak itu ada mengandung maksud, ada tujuan untuk menolong anak yang perlu ditolong untuk membentuk dirinya sendiri.

Melalui pergaulan pendidikan anak didik sebagai peserta didik akan leluasa mengadakan dialog dengan gurunya. Upaya ini sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai akhlak kepada peserta didik. Keakraban ini sangat penting dalam proses pendidikan, dan harus diciptakan oleh pendidik dalam kegiatan belajar mengajar ataupun dalam interaksi pendidikan dalam kegiatan pendidikan non formal dan informal.

Selanjutnya, dengan memberikan suri tauladan yang dicontohkan oleh pendidik kepada peserta didiknya, juga akan memberikan dampak yang sangat besar dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai Islam kepada peserta didik tersebut. Karena, suri tauladan adalah alat pendidikan yang sangat efektif untuk mengkomunikasikan nilai-nilai ajaran Islam. Melalui contoh yang diberikannya, pendidik menampilkan dirinya sebagai suri tauladan bagi murid-muridnya dalam bentuk tingkah laku, gaya berbicara, cara bergaul, tabiat yang menjadi kebiasaan, tegur sapa, amal ibadah dan lain-lain sebagainya. Akhlak yang ditampilkan pendidik dalam bentuk tingkah laku dan perkataan, tentu akan dapat dilihat dan didengar langsung oleh peserta didiknya.

Zakiah Darajad mengomentari tentang sikap memberikan contoh dengan suri tauladan ini. Dia mengatakan, bahwa latihan keagamaan, yang menyangkut akhlak atau ibadah sosial, atau hubungan manusia dengan manusia sesuai dengan ajaran agama, jauh lebih penting dari pada penjelasan dengan kata-kata. Latihan-latihan ini dilakukan melalui contoh yang diberikan oleh guru atau orang tua. Oleh karena itu guru agama hendaknya mempunyai kepribadian, yang dapat mencerminkan ajaran agama yang diajarkannya kepada anak didiknya. Lalu sikapnya dalam melatih kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran agama itu, hendaknya menyenangkan dan tidak kaku.

Melalui contoh-contoh keteladanan inilah akhlak akan di transpormasikan dan di internalisasikan, sehingga sikap akhlakul karimah itu menjadi bagian dari diri peserta didik, yang kemudian ditampilkannya pula dalam pergaulan dilingkungan rumah tangga maupun sekolah, atau di tempat bermain bersama dengan teman-temannya, ataupun ditempat-tempat peserta didik tersebut berinteraksi dengan orang lain dan orang banyak.

Suri tauladan akan menjadi alat praga langsung bagi peserta didik. Bila guru agama dan orang tua memberikan contoh tentang pengamalan akhlak, maka peserta didik akan mempercayainya, sebagai mana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw., dalam upaya mendakwahkan dan mensyiarkan ajaran agama Islam ditengah-tengan umat manusia. Kenyataan inilah yang dijelaskan oleh Allah swt., dalam surah Al Ahzab ayat 21.

“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa memberikan contoh melalui suri tauladan yang baik dalam pendidikan akhlak, akan dapat memberikan pengaruh positip secara langsung kepada peserta didik.Tapi pendidik juga harus mempersiapkan dirinya dengan sengaja dan memberikan contoh secara langsung dalam keseharian hidupnya.

Sehubungan dengan ini, Fuad Ihsani mengutip apa yang dikemukakan oleh Umar bin Utbah kepada guru yang akan mengajar anaknya dengan ungkapan sebagai berikut: “ Sebelum engkau membina dan membentuk anak-anakku, hendaklah engkau terlebih dahulu membentuk dan membina dirimu sendiri. Karena anak-anakku tertuju dan tertambat kepadamu, seluruh perbuatanmu itulah yang baik menurut pandangan mereka, sedangkan apa yang kau hentikan dan engkau tinggalkan, itulah yang salah dan buruk menurut mereka.”

Setelah dengan cara melalui sikap memberikan suri tauladan untuk menanamkan akhlak kepada anak didik atau peserta didik, maka cara selanjutnya adalah dengan sikap mengajak dan mengamalkan.

Didalam Islam, akhlak yang diajarkan kepada peserta didik, bukan hanya untuk dihapal menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif semata, tapi juga untuk dihayati dan menjadi suatu sikap kejiwaan dalam dirinya yang bersifat efektif, dan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat psykomotorik. Islam adalah agama yang menuntut para pemeluknya untuk mengamalkan apa yang diketahuinya menjadi suatu amal shaleh.

Tentang masalah pengamalan suatu ilmu, Allah swt. menegaskan dalam Al Quran, pada surat as shaf ayat 2 dan 3

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian disisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Berdasarkan firman Allah SWT. ini, Islam mengajarkan pada umatnya, bahwa ilmu yang dipelajari dan diajarkan, (termasuk ilmu akhlak), dituntut untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena Allah SWT. sangat membenci orang yang berkata tapi tidak berbuat.

Hal ini berarti, bahwa ajaran tentang akhlak yang dipelajari dan diajarkan, harus dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pendidik harus dapat memberikan motivasi agar semua ajaran akhlak dapat diamalkan dalam kehidupan pribadi peserta didik, agar nilai-nilai luhur agama dapat terwujud dalam setiap perilaku manusia.

 

Ditulis oleh Hasbullah Hadi dkk

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *