News

PIDATO REVOLUSIONER NADIEM MAKARIM

Oleh: Dr. Adian Husaini
    Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengangkat masalah pendidikan dan kebahagiaan dalam pidatonya, 2 Mei 2021. Kata Menteri Nadiem: “Terlalu lama pemikiran Ki Hajar Dewantara tidak kita manfaatkan sepenuhnya. Pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia haruslah menuju arah lahirnya kebahagiaan batin serta juga keselamatan hidup. Esensi mendasar pendidikan haruslah memerdekakan kehidupan manusia. Mulai hari ini, pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia tersebut haruslah kita jiwai dan kita hidupkan kembali agar lekas tercipta pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia, serta terwujudnya kemerdekaan belajar yang sejati.”
    Itulah sebagian isi pidato Menteri Nadiem Makarim. Sebagai seorang menteri yang berasal dari jalur professional, kita bisa berharap bahwa pidato Nadiem Makarim itu bukan sekedar ungkapan kata-kata indah tanpa pijakan dan rencana aksi yang nyata. Bahwa, Pendidikan harus menuju kepada lahirnya “kebahagiaan batin dan keselamatan hidup”.
    Katanya, sudah ada upaya perbaikan yang terus dikerjakan Kemendikbud Ristek bersama berbagai elemen masyarakat. Pertama, perbaikan pada infrastruktur dan teknologi. Kedua, perbaikan kebijakan, prosedur, dan pendanaan, serta pemberian otonomi lebih bagi satuan pendidikan. Ketiga, perbaikan kepemimpinan, masyarakat, dan budaya. Keempat, perbaikan kurikulum, pedagogi, dan asesmen.
    Bahkan, kata Menteri Nadiem, “Sejak saya menjabat sampai dengan saat ini, termasuk pada masa pandemi, sepuluh episode Merdeka Belajar telah diluncurkan dan akan masih banyak lagi terobosan-terobosan Merdeka Belajar yang akan kita lakukan. Transformasi yang bermakna ini kami kerjakan agar segala sesuatu yang selama ini membuat bangsa ini hanya berjalan di tempat, dapat berubah menjadi lompatan-lompatan kemajuan.”
                                          ****
    Sebagai warga masyarakat dan praktisi pendidikan, tentulah saya senang dengan isi pidato yang mengajak kita untuk bersikap optimis, bahwa bangsa kita akan semakin berjaya ke depan, melalui pendidikan. Dan memang, di tengah berbagai ujian dan musibah saat ini, optimisme harus terus dipupuk, agar kita tidak sampai berputus asa.
    Akan tetapi, kita juga harus berpijak pada realitas dan penuh perhitungan yang matang, untuk meraih kemajuan. Menurut hemat saya, akar masalah Pendidikan kita justru ada pada definisi kata “pendidikan” dan “pembangunan” itu sendiri. Gambaran yang muncul dari (draf) Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, tampak benar, bahwa pendidikan kita didominasi oleh program untuk mencetak pekerja, untuk mengejar target mencapai “negara maju”.
    Nah,  “negara maju” yang dimaksud adalah negara dengan perkiraan pendapatan perkapita 11.228 USD/bulan, pada tahun 2030. Tidak ada sama sekali gambaran kemajuan dari sisi jiwa manusia. Bahwa kemajuan adalah kebahagiaan. Bahwa negara maju adalah negara bahagia. Jadi, pendidikan saat ini dirumuskan sebagai sarana untuk meraih kemajuan dalam aspek fisik.
    Itu bisa dimaklumi, sebab konsep negara maju yang diajarkan di sekolah-sekolah masih berkutat pada aspek materi dan fisik manusia. Kemajuan diukur dari pendapatan per kapita. Maka, bisa dipahami, jika pejabat negara pun akan membuat kebijakan pembangunan sesuai dengan bahan ajar di sekolah.
    Lembaga ekonomi dunia, PricewaterhouseCoopers (PwC), membuat prediksi, Indonesia akan masuk lima negara dengan perekonomian terbesar di dunia.     Mengutip data IMF, tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-8 dengan total Produk Domestik Bruto (GDP) sebesar 3028 milyar USD. Tahun 2030, diperkirakan Indonesia akan naik ke peringkat kelima dengan GDP 5024 milyar USD. Lalu, di tahun 2050, Indonesia diprediksi naik lagi ke peringkat keempat dengan GDP 10,502 milyar USD. (https://www.pwc.com/id/en/media-centre/pwc-in-news/2017/indonesian/pwc–indonesia-akan-menjadi-negara-dengan-perekonomian-terbesar-.html)
    Jika prediksi PwC itu nanti terbukti, tentu itu hal baik bagi Indonesia. Meskipun, masih perlu diteliti, siapa yang menikmati kue ekonomi yang besar itu? Apakah kue itu terdistribusi secara adil, atau terpusat pada sekelompok elite tertentu di Indonesia?
    Sebenarnya, kriteria kemajuan suatu negara yang hanya diukur dari besaran GDP, sudah tidak memadai lagi.  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sejak  tahun 2012, sudah mengenalkan kriteria ‘kemajuan’ satu bangsa dengan ukuran “indeks kebahagiaan”. Beberapa indikator yang diukur, yaitu: pendapatan per kapita, kesehatan masyarakat, dukungan sosial, kebebasan memilih, kedermawanan, tingkat korupsi, dan sebagainya.
    Tahun 2019, misalnya, dari daftar 156 negara paling bahagia, Indonesia menempati ranking ke-92; hanya satu poin di atas negara Cina. (https://worldhappiness.report/ed/2019/). Tahun 2020, dilaporkan, bahwa dari 156 negara yang diteliti, Indonesia menduduki peringkat ke-84. (https://happiness-report.s3.amazonaws.com/2020/WHR20.pdf).
    Diantara kriteria yang digunakan untuk mengukur tingkat kebahagiaan negara-negara itu, ialah harapan hidup, tingkat korupsi, sarana sosial, dan lain-lain. Tentu, kita bisa menyoal kriteria yang digunakan. Misalnya, mengapa tidak digunakan angka bunuh diri, konsumsi narkoba, konsumsi miras, angka kriminalitas, dan sebagainya.
    Pendidikan yang hanya mengejar keunggulan fisik dan intelektual pasti akan berujung kepada ketidakbahagiaan. Pendidikan warisan colonial seperti inilah yang justru dikritik keras oleh Ki Hajar Dewantara. Dalam pidatonya saat pembukaan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, 1922, Ki Hajar menyatakan: “Pendidikan yang selama ini diterima orang Indonesia dari Barat jauh dari kebal terhadap pengaruh-pengaruh politik kolonial; singkatnya, ialah pendidikan yang ada hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial; dan ini sifatnya tetap semenjak zaman VOC meskipun di bawah politik etika. Tetapi anehnya, banyak priyayi atau kaum bangsawan yang senang dan menerima model pendidikan seperti ini dan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan fisik dan semata-mata hanya memberikan surat ijazah yang hanya memungkinkan mereka menjadi buruh.”
    Melihat konsep, praktik, dan arah pendidikan di Indonesia selama ini, pidato Nadiem Makarim pada 2 Mei 2021, itu jelas sangat revolusioner. Itu sama saja membongkar praktik pendidikan kita yang begitu dominan aspek pragmatisnya.
    Pendidikan yang membahagiakan adalah pendidikan yang bertujuan membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Itu harus dimulai dengan niat ikhlas mencari ilmu dan menerapkan kurikulum berbasis “pensucian jiwa” (tazkiyyatun nafs). Hanya manusia dengan jiwa bersih yang akan meraih kebahagiaan.
    Kalau ini diterapkan, maka terjadilah revolusi besar-besaran dalam dunia pendidikan kita. Ini berat sekali tantangannya!  Baik internal maupun eksternal Kemendikbudristek.  Tapi, itu suatu keharusan, jika kita ingin berubah meraih kemajuan yang hakiki!
    Karena itu, menyikapi pidato Menteri Nadiem tentang pendidikan yang membahagiakan itu, kita patut bertanya: “Serius, Pak Menteri?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.