Pengetahuan Umum

Tentang Zakat

Perintah zakat disyariatkan beriringan di tahun yang sama setelah disyariatkan shiyam Ramadhan. Sejarah mencatat bahwa shiyam Ramadhan disyariatkan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah (lihat As-Sirah an-Nabawiyyah_2, Dr. Muhammad bin M Abu Syahbah, halaman 106).

Perintah shiyam ini diikuti dengan perintah untuk membayar zakat fithr sebagai kesempurnaan ibadah shiyam Ramadhan. Setelah itu, turunlah perintah untuk membayar zakat harta dan yang berkaitan dengannya. Tasyri’ (penetapan syariat) ini diterangkan dalam hadis sahih sebagai berikut:

عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ تَنْزِلَ الزَّكَاةُ، فَلَمَّا نَزَلَتِ الزَّكَاةُ لَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا وَنَحْنُ نَفْعَلُهُ

Dari Qais bin Sa’d. Dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk membayar zakat fithr sebelum turunnya perintah zakat harta. Setelah turun perintah zakat harta ini, beliau tidak memerintahkan lagi untuk membayar zakat fithr dan tidak melarangnya serta kami tetap membayar zakat fithr”

(HR. An-Nasa`i)

Ayat Alquran telah berbicara tentang zakat dalam 26 ayat lebih. Perintah membayar zakat sering disebut beriringan dengan perintah menegakkan shalat. Misalnya dalam firman Allah berikut:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

(QS. Al-Baqarah ayat 43)

Sedangkan, perintah untuk membayar zakat kekayaan dari hasil kerja, menggunakan kata perintah untuk infak dengan kalimat perintah: “Nafkahkanlah!”

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (bayarlah zakat) dari sebagian hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

(QS. Al-Baqarah ayat 267)

Konsultasi Zakat, Infaq, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) dengan Fatchul Umam, Dewan Syariah Rumah Amal Salman

Lahan sebagai investasi, memang menguntungkan. Terutama karena nilainya lebih cepat meningkat dibanding investasi jangka panjang lainnya.

Secara tekstual, dalam Ilmu Fiqh tertera bahwa kepemilikan lahan tidak termasuk obyek zakat. Beda halnya dengan lahan untuk pertanian, di mana yang menjadi obyek zakat adalah hasil pertaniannya. Besar zakatnya berkisar 5% atau 10% dari hasil pertanian lahan tersebut.

Adapun yang termasuk ke dalam objek zakat yakni harta berupa; (1) emas, (2) perak, (3) perdagangan, (4) pertanian, (5) peternakan, (6) tambang, dan (7) harta-harta lain yang tumbuh. Jenis harta terakhir ini, istilah dalam Ilmu Fiqh-nya adalah Nama’.

Lalu, bagaimana ketika lahan tidak produktif tadi terjual?

Nilai jual lahan yg mencapai nisab –baik merugi maupun untung— tetap wajib dizakati sebesar 2,5%. Harap diingat, bukan 2,5% dari nilai untungnya, tetapi dari nilai jual lahan secara keseluruhan. Menurut syariah secara tekstual, zakat hasil penjualan lahan tidak produktif dikeluarkan setiap akhir 1 tahun kepemilikan berdasarkan perhitungan kalender Hijriyah (haul).

Pembayaran zakat dilakukan sekaligus saja. Yaitu ketika lahan telah terjual, dan pemilik lahan telah mendapatkan pembayarannya.

Pada dasarnya kepemilikan lahan atau tanah sebagai investasi merupakan hasil ijtihad. Tidak ada nash yang sharih (jelas) akan masalah ini. Analisisnya dengan melihat kausalitas dan analogi, atau Qiyas.

Misalnya. Jika lahan dinisbahkan sebagai harta yang tumbuh sehingga terkena zakat, sedangkan lahan yang dimaksud masih berupa tanah kosong atau berupa lahan itu sendiri, solusinya dengan cara “dikiyaskan” dengan zakat piutang yang macet.

Menurut para ulama, piutang zakat dibayar pada tahun terakhir angsuran piutang tersebut diserahkan pada pemilik dana. Pihak yang berhutang sendiri tidak perlu membayar zakat untuk tahun-tahun sebelumnya. Ini berdasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 280 yang berbunyi, “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Yang paling baik dan pasti benar, seperti halnya perdagangan dan kepemilikan emas/perak, adalah membayar zakat setiap tahun (penanggalan tahun Hijriah) sesuai ketetapan harga saat itu.

Namun bila tujuan kepemilikan lahan yang bersangkutan adalah untuk menyimpan harta, yang kemudian untuk dibangun rumah atau dibangun rumah sewa, maka kepemilikan lahan tersebut bukan merupakan objek zakat.

 

 

Dan mereka yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah maka berilah kabar gembira kepada mereka tentang akan datangnya siksaan yang sangat pedih. (at-Taubah, 34).

Ketika turun ayat ini, banyak sahabat Nabi yang merasa keberatan dan merasakan kesedihan yang dalam. Mereka saling membicarakan ancaman bila menyimpan emas dan perak dan bertanya-tanya apa gerangan maksud firman Allah tsb. Bahkan di antara mereka banyak yang mengira bahwa Allah telah menilai adanya bahaya yang besar dan jelek terhadap emas dan perak sehingga berusaha menjauhi dengan serius untuk tidak menyimpan emas dan perak.

Mereka kemudian bertanya-tanya ‘Bila demikian, kami bekerja harus mencari jenis harta apa untuk pembiayaan anak-anak kami?’ Umar bin Khattab kemudian berbicara kepada para sahabat dan bertekad untuk mencari penjelasan kepada Rasulullah Saw.

Umar Ra. mengunjungi Rasulullah Saw kemudian bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya para sahabatmu merasa keberatan terhadap ayat ini’.

Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mewajibkan zakat kecuali untuk membersihkan harta-harta kalian yang masih ada, tetapi Allah telah mewajibkan aturan pembagian warisan untuk keluarga kalian yang engkau tinggalkan’. Mendengar ini Umar Ra kemudian bertakbir. Rasulullah Saw. bersabda lagi: ‘Maukah aku tunjukkan sesuatu yang terbaik untuk disimpan? Yaitu wanita yang shalihah yang apabila memandangnya memberikan kesenangan, apabila menyuruhnya untuk sesuatu ia siap selalu dan apabila ditinggal pergi ia selalu menjaga dirinya’. (Abu Dawud dari Ibnu Abbas).

Maksud Rasulullah Saw dari kata menginfakkan di jalan Allah Swt adalah dengan membayar zakatnya.
Setelah ini semua disampaikan kepada para sahabat, Umar Ra. kemudian menyampaikan lagi sabda Rasulullah Saw, ketika Umar Ra bertanya: Apa maksud perkataan Rasulullah : Celakalah bagi emas dan perak, kalau demikian apa yang kami simpan? Beliau Saw bersabda: ‘Hendaknya milikilah lesan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur dan isteri yang selalu siap menolong untuk urusan akherat’. (Musnad Ahmad).

Pasti dalam hal ini banyak yang bertanya-tanya juga, apa maksud larangan menyimpan. Menurut Abu Dzar adalah larangan menyimpan di luar batas kewajaran. Ahli tafsir menyimpulkan pendapat Abu Dzar ini karena Rasulullah ketika itu pernah mengalami masa yang sulit sekali sehingga melarang menyimpan harta, sedangkan negara berusaha untuk meagatasi kesulitan keuangan untuk mengangkat perekonomian negara dari bahaya kemiskinan yang lebih besar.

Artinya kita juga dibolehkan menyimpan harta kekayaan dengan syarat harus membayar zakatnya, senilai 2,5% dari total, bila sudah memenuhi syaratnya. Yaitu sampai nisab, senilai 85 gr emas 24 karat, dan jangka waktu penyimpanannya sudah mencapai satu tahun hijriyyah. Pada tahun berikutnya harta yang sama tsb juga dilakukan perhitungan untuk membayar zakatnya dengan cara perhitungan yang sama.

Bagi orang yang punya harta, tetapi tidak membayar zakat maka akan mendapat ancaman siksa neraka. Sebaliknya bila memang tidak menyimpan harta kekayaan, tetapi bahkan membelanjakannya untuk jalan yang tidak benar seperti berlaku boros, atau menggunakan hartanya untuk tindakan yang tidak sesuai dengan syariat, maka termasuk yang akan mendapat ancaman Allah.

 

Oleh: Drs. Fatchul Umam, M.B.A. (Dewan Syariah Rumah Amal Salman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.