News

Belajar Mengambil Hikmah dari Hal yang Tidak kita Sukai

Saudaraku yang semoga dirahmati oleh Allah … Ketahuilah … Allah Taala akan menguji setiap hamba-Nya dengan berbagai musibah, dengan berbagai hal yang tidak mereka sukai, juga Allah akan menguji mereka dengan musuh mereka dari orang-orang kafir dan orang-orang munafiq. Ini semua membutuhkan kesabaran, tidak putus asa dari rahmat Allah dan tetap konsisten dalam beragama. Hendaknya setiap orang tidak tergoyahkan dengan berbagai cobaan yang ada, tidak pasrah begitu saja terhadap cobaan tersebut, bahkan setiap hamba hendaklah tetap komitmen dalam agamanya. Hendaknya setiap hamba bersabar terhadap rasa capek yang mereka emban ketika berjalan dalam agama ini.

 

Saat seperti di atas sangat berbeda dengan orang-orang yang ketika mendapat ujian merasa tidak sabar, marah, dan putus asa dari rahmat Allah. Sikap seperti ini malah akan membuat mereka mendapat musibah demi musibah.

 

Renungkanlah …

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

 

“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridho (terhadap ujian tersebut) maka baginya ridho Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah At Tirmidzi berkata bahwa hadits ini Hasan Ghorib)

 

Dari Mush’ab bin Sa’id (seorang tabi’in) dari ayahnya berkata,

 

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

 

“Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

 

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

 

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka dia akan mendapat ujian begitu kuat. Apabila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan agamanya. Senantiasa seorang hamba akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

 

Semoga kita yang sedang mendapat ujian atau musibah merenungkan hadits-hadits di atas. Sungguh ada sesuatu yang tidak kita ketahui di balik musibah tersebut. Maka bersabarlah dan berusahalah ridho dengan taqdir ilahi. Sesungguhnya para Nabi dan orang sholeh dahulu juga telah mendapatkan musibah sebagaimana yang kita peroleh. Lalu kenapa kita harus bersedih, mengeluh dan marah? Bahkan orang sholeh dahulu -sesuai dengan tingkatan keimanan mereka-, mereka malah memperoleh ujian lebih berat. Cobalah kita perhatikan perkataan ulama berikut.

 

Al Manawi mengatakan, “Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta (tertutupi). Betapa banyak orang sholih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. … Dan masih banyak kisah lainnya.” (Faidhul Qodhir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/518, Asy Syamilah)

Semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah, baik dengan hati lisan atau pun anggota badan. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang selalu ridho dengan taqdir-Mu.

 

Tak ada perkara yang dicipta dengan nihil makna. Sudah pasti, di balik semuanya, Allah Swt telah menyisipkan serangkaian hikmah yang bisa dipelajari.

Pun seperti sekarang, setidaknya ada lima hikmah yang bisa diambil di balik datangnya ujian berupa ancaman dan musibah korona (Covid-19).

 

Menguatkan karakter keimanan

Allah Swt berfirman;

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Ath-Thabari dalam Jami Al-Bayan menjelaskan, ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah Swt kepada umat Nabi Muhammad Saw, bahwa Dia akan menguji mereka dengan perkara-perkara yang berat untuk menunjukkan siapa yang taat dan mana yang ingkar.

Dari Shuhaib, Rasulullah Saw bersabda;

“Sungguh menakjubkan keadaan seorang Mukmin. Seluruh urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang yang beriman. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Dan Itu pun baik baginya.” (HR. Bukhari Muslim)

Imam Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir menjelaskan, bersyukur ketika mendapat kesenangan dan bersabar saat mendapatkan ujian adalah sebenar-benarnya karakter orang yang beriman.

Dua sikap itu, tulis Al-Munawi, tidak ditemukan dalam diri kalangan kafir dan munafik. Keajaiban sifat tersebut adalah ketika seseorang diberi kesenangan berupa sehat, keselamatan, harta, dan kedudukan, lalu ia bersyukur pada Allah Swt atas karunia tersebut, maka Allah akan mencatat mereka ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur.

Begitu pun ketika ditimpa musibah lantas ia bersabar, maka seseorang itu pun akan dimasukkan ke dalam orang-orang yang bersabar.

Pintu kesabaran dalam menghadapi musibah ialah dengan mengucapkan istirja, alias kalimat “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.” Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar melengkapinya sebagai doa sebagaimana yang pernah diucapkan Rasulullah Saw;

“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Allahumma ajirni fi mushibati wa akhlif li khairan minha. Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sungguh hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, karuniakanlah padaku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik dari padanya.” (HR Muslim)

 

Mengangkat derajat dan menghapus dosa

Allah Swt berfirman;

“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang’. Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. Al Anbiya’: 83-84)

 

Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib mengisahkan, bahwa pada mulanya Nabi Ayub merupakan seorang yang kaya raya, memiliki anak-anak, dan istri yang sangat dicintainya. Nabi Ayub, sama sekali tak memiliki kesulitan untuk berdoa dan beribadah kepada Allah Swt karena serba berkecukupan.

Kemudian, Allah Swt menguji Nabi Ayub berupa penyakit hingga ia ditinggalkan para pengikutnya, termasuk keluarga dan anak-anaknya. Tak hanya itu, kekayaan Nabi Ayub pun habis tiada bersisa.

Akan tetapi, Nabi Ayub tetap menjalaninya dengan penuh kesabaran dan dengan ketakwaan yang kian meningkat. Kemudian Allah pun mengembalikan seluruh kekayaan Nabi Ayub dengan berlipat ganda, dan anak-anak yang lebih banyak ketimbang sebelumnya.

 

Rasulullah Saw bersabda;

“Ujian senantiasa menimpa orang beriman pada diri, anak, dan hartanya hingga ia bertemu Allah dengan tidak membawa satu dosa pun atasnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Dalam riwayat lain, Nabi bersabda;

“Tidak ada satu pun musibah yang menimpa seorang Muslim berupa duri atau yang semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahannya.” (HR. Muslim)

 

Tanda cinta dan kebaikan Allah Swt

Musibah atau ujian juga bisa menjadi penanda atas cinta dan kebaikan Allah Swt kepada makhluk-Nya. Nabi Saw bersabda;

“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barang siapa yang rida maka baginya keridaan Allah, namun barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. Tirmizi).

Rasulullah Saw juga bersabda, “Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah)

 

Apabila Allah mencintai seseorang, maka bisa saja Allah menujukkan rasa kasih sayang-Nya melalui sebuah ujian dan musibah. Allah menjadikan musibah sebagai pengganti siksa di akhirat yang kadarnya akan jauh lebih pedih.

Rasulullah Saw bersabda;

“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi)

 

Dalam Faidh Al-Qadir, Al-Munawi menegaskan, hal itu juga bisa menunjukkan sebaliknya. Allah Swt akan mengakhirkan siksa yang berlibat di akhirat kelak, kepada siapa saja yang tidak dicintai-Nya dan siapa saja yang dikehendakinya buruk.

 

Setara syahid

Anjuran bersabar dalam menghadapi musibah dan ujian, terutama yang berupa wabah ditegaskan Nabi Saw melalui sabdanya;

“Wabah penyakit adalah sejenis siksa (azab) yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi kaum Muslimin. Tidak ada seorang pun yang terserang wabah, lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala, juga mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah mentakdirkannya kepadanya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid.” (HR. Bukhari, An-Nasa’i, dan Ahmad)

Dalam Fath Al-Bari, Ibnu Hajar Al-Atsqalani menjelaskan, makna gamblang dan akurat (manthuq) hadis ini adalah orang yang memiliki sifat tersebut (Berdiam diri di rumah saat terjadi wabah) akan mendapatkan pahala syahid walaupun yang bersangkutan tidak sampai meninggal dunia.

 

Pahala tanpa batas

Allah Swt berfirman;

“… Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya dengan mengutip Al-Auza’iy mengatakan, yang dimaksud dengan pahala tanpa batas adalah kebaikan orang-orang yang sabar tidak akan ditakar atau ditimbang. Mereka langsung dimasukkan ke surga tanpa perhitungan.

 

Mengingat Mati Dan Bersyukur
Salah satu cara bertaubat paling ampuh ialah mengingat kematian, tidak ada yang tau pasti kapan dan dimanapun kematian menghampiri jiwa ini. Karena Hanya Allah SWT yang tau الذي خلق الموت والحياة Allah lah yang menciptakan mati dan Allahlah yang menciptakan Hidup. Maka pembelajaran besar bagi kita ketika kita dilihatkan dan dihadapkan kepada kematian ialah kesyukuran, dan seyogiyanya bagi kita banyak-banyak bersyukur atas nikmat yang telah diberikanNya. Sejatinya Allah telah memperingatkan bagi hambanya semua hingga hambanya yang benar-benar sadar. Seperti yang sering disampaikan trimurti dalam istilah gontori bahwa hidup sekali hiduplah yang berarti.

Perbanyak Bekal Dan Amal
Memperbanyak bekal dan Amal merupakan jalan yang terampuh bagi kehidupan kita setelah didunia. Pun demikan dari kedua indikator tersebut yang bisa menemani kita dan menjadi teman kita pada kehidupan setelahnya. Tujuan Allah SWT memberi ujian ialah agar kita memahami ليبلوكم أيّكم أحسن عمل supaya kita mempersiapkan bekal amal yang baik. Dan Bekal yang bisa kita pelajari dan perdalami disisa waktu yang masih sempat ini ialah Semangat dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, terlebih lagi dalam menuntut ilmu agama. Semangat dalam meningkatkan kwalitas ibadah seperti rajin sholat 5 waktu, memperbanyak sholat-sholat sunnah, lebih sering membaca Al-Qur’an, dan Puasa-puasa sunnah. Adapun Amal yang bisa kita tingkatkan ialah amal sedekah, zakat, dan infaq. Kemudian amal jariyah yang bisa membuat pahala kita terus mengalir seperti mengalirnya air sungai yang tidak berujung tanpa henti.

Renungan
Dari peristiwa hari ini banyak sekali pembelajaran, manfaat dan hikmah yang dapat kita ambil. Sehingga menjadi bahan renungan Apabila ketika kita dihadapkan kepada kematian, dan yang menjadi penolong kita ialah ada tiga hal yaitu: ilmu yang bermanfaat, anak yang sholeh, dan amal jariyah. Maka persiapkanlah bekal.

Jika banyak orang-orang yang berlomba-lomba menuju kehidupan yang lebih baik. Mengapa tidak bagi kita untuk mempersiapkan dan berlomba-lomba mennuju kematian atau cara mati yang lebih baik.

Dengan demikian mari kita selalu meningkatkan taqwa dan selalu berdo’a agar selalu dijaga dan dilindungi oleh Allah SWT.

 

 

Sumber Rujukan Utama : Syarh Qowaidil Arba, Syaikh Sholih bin ‘Abdillah Al Fauzan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.