News

Bukan Sekedar Teladan

Kadang ada ayah yang berkeluh kesah begini, “Padahal saya sudah rutin ke masjid lho, ustadz. Tapi kenapa anak saya susaaaah banget ya buat diajak ke masjid? Saya udah berusaha ngasih contoh dan teladan untuknya. Kenapa tetap gak mau ya?”

Jadi begini combro and sosis alias bro and sis. Keteladanan kepada anak emang mutlak bagi ayah. Tapi apa yang bisa diteladani kalau anak tak punya ikatan hati? Jika anak tak cinta kepada seseorang, bagaimana mungkin ia mau mencontoh kalau orang tersebut gak disuka?

Cobalah tengok kisah dari kawan saya. Dia punya murid yang ngefans berat dengan Christiano Ronaldo. Pesepakbola yang mirip saya. Bukan wajahnya tapi potongan rambut plus ketombenya. Dia dikenal kaya dan dermawan. Sayang dia masuk tim bubur yang tak diaduk. Beda ama saya.

Saat ia diminta jadi bintang iklan shampoo di TV, tiba-tiba anak itu ikutan beli shampoo. Padahal kepala tuh anak botak licin, sodara.

Saat ditanya, jawabannya simple, “Gw mah fans sejati. Apa yang dilakuin Ronaldo gw ikuti”. Duh sayang Ronaldo gak ke mesjid, ikut kajian dan ikut program one day one juz. Atau baca buku Fatherman. Modal dasar dia untuk ditiru jutaan manusia amat terbentang lebar.

Bayangkan kalau Ronaldo itu adalah ayah. Ayah yang dicintai oleh anaknya. Membuat setiap kata dan tindak tanduk ayah jadi fatwa yang dengan sadar diikuti oleh anak. Dan perlahan-lahan anak dibimbing mengenal agamanya lewat lisan ayahnya.

Itulah kenapa teladan saja gak cukup. Tapi kecintaanlah yang jadi faktor penentunya. Sebab anak kita bukan kayak santri yang terbiasa dengan petuah, “Lihat apa yang dibicarakan. Jangan lihat siapa yang bicara”. Mereka gak gitu.

Bagi mereka, siapa yang bicara itu penting. Kalau orang itu dicintai, jangankan disuruh bersihin teras yang kotor, lapangan bola pun siap mereka pel. Tergantung yang nyuruh itu siapa.

Kalau ayah tak dicintai, maka setiap nasehatnya gak bakal didengar. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan, itu jaman old. Anak jaman now beda. Gak gw biarin masuk kuping gw sekalipun. Khawatir ada yang nyangkut.

Maka pertanyaannya, sudahkah kita dicintai oleh anak kita?

Ditulis oleh: Ust. Bendri Jaisyurrahman

 

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
(At Tahrim:6)

Dari ayat ini jelaslah sudah bahwa hakikat pendidikan yang sesungguhnya adalah menghantarkan anak untuk mengenali mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Dan untuk menghantarkannya menjadi manusia yang sukses di dunia dan akhirat.

Tanamlah padi maka rumput akan tumbuh. Tapi saat kita menanam rumput padi tidak akan pernah tumbuh.

Padi adalah gambaran akhirat dan rumput itu adalah gambaran dunia.

Jadi saat kita mendidik anak, niatkanlah untuk mengejar akhirat. Karena bila tujuan kita adalah akhirat maka dunia akan datang mendekat.

Anak itu seperti benih unggul yang diberikan ke kita. Kitalah yang memilihkan tanah, pupuk dan senantiasa harus menyirami agar bibit itu bisa tumbuh dengan subur. Agar kelak buah yang tumbuh dari pohon itu bukan hanya kita yang merasakan kelezatannya tapi juga orang banyak.

Para peneliti membuktikan ketika orang tua menganggap anak sebagai orang baik, dan orang tua menunjukkan cintanya pada anak, maka anak akan merasa dirinya adalah orang baik dan terhormat. Ketika kita melihat anak berbuat salah, sampaikan padanya bukan dia yang salah tapi perilakunya.

Maka, jangan pernah putus asa dan jangan risau bila anak pernah salah. Tapi risaukanlah ikhtiar mendidik kita, apakah sudah benar tujuannya untuk mengejar akhirat atau masih berkutat karena tujuan duniawi semata.

Semoga bermanfaat..

Wallahu a’lam bish showab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.