Pengetahuan Umum

HARGA GENERASI

 

By kang Rendy Saputra

 

Makin banyak melihat kejadian pada kehidupan, akhirnya saya dapat mengambil kesimpulan bahwa di titik anak-anak kita, mau gak mau kita pasti harus membayar harganya.

 

Jika kita ingin mendidik anak kita sebaik-baiknya, ya kita mesti bayar harganya. Kita mesti bayar dengan perhatian, dengan fokus, dengan waktu, dengan tenaga, dan tentunya dengan uang.

 

Jika kita gak mau mendidik juga kita akan bayar, anak-anak jadi rusak, jadi durhaka, narkoba, gak punya kompetensi, gak ada akhlaq, merusak, akhirnya kita sebagai orang tua juga harus bayar harganya, paska semua kerusakan yang terjadi.

 

Sematan gambar ini adalah suasana belajar di Pondok Berkah Quran Masjid BerkahBOX. Seluruh layanan pendidikan di Pondok ini, hingga semua perlengkaoan belajar, disediakan gratis oleh masjid. Gratisnya gak basa-basi, kepada wali santri pun kami gak pernah kode-kode. Silakan follow dan ngobrol ke Direktur Masjid, Kak Nirwana Tawil

 

Maka gak jarang setan menggoda batin ini, lelah dalam penghimpunan ziswaf, lelah dalam memanajemen pernak pernik layanan pondok, lelah mengkomunikasikan program, ya namanya aja setan ya, sudah tugasnya nge goda.

 

Tapi ya itu… kalo kembali lagi pada kesadaran terkait hagra generasi, kita jadi semangat lagi, bangkit lagi, kerja lagi. Kalo kata kiyai Luqmanulhakim, save the generation, selamatkam generasi.

 

***

 

Ummat ini banyak gak sadar tentang investasi generasi. Dikira anak-anak kita tumbuh pasti baik, begitu saja. Padahal menumbuhkan anak ini, didalam Al Quran analoginya “nabata”, artinya tumbuhan. Anak-anak kita ini seperti tumbuhan.

 

Jadi yang namanya tumbuhan, ya harus dirawat, disiram, dipupuk, dijaga dari hama, gak bisa dibiarin.

 

Saya suka bingung sama wali santri di pondok berbayar, yang SPP nya sejuta lima ratus, komplain dan rewelnya minta ampun. Padahal beliau milih pondok berbayar.

 

Sejuta lima ratus itu kalo dibagi 30 hari dapatnya 50 rb per hari. Seorang anak dititipkan di Pondok, dikasih makan 3x sehari, disediakan guru, wali kelas, wali asrama, alat mandi segala macem, kelasnya bagus, asramanya bagus, cuma di costing 50rb per hari? Udah luar biasa harusnya.

 

Anaknya bangun sepertiga malam terakhir, mendoakan kedua orang tua, belajar Al Quran, belajar bahasa Arab, Bahasa Inggris, fiqh, adab, MIPA, total 50rb per hari. Kan gokil.

 

1,5 jt itu kalo dikali 12 bulan ketemunya 18 juta. Bayangkan kalo anak kena narkoba, na’udzubillah, berapa biaya rehab? Berapa biaya pengobatan?

 

Berapa biaya kalo anak sudah rusak, ngerusak masyarakat, ngerusak anak orang lain, ngerusak negeri? Berapa biayanya?

 

Lebih jauh dari itu, gimana kalo waktu kecil gak dihidupkan nurani, sudah besar korupsi dana bansos, berapa kerugian kita sebagai ekosistem bangsa? Triliunan.

 

Kembali ke masalah pondok, masalah sekolah Islam, kita terlalu hitungan sama Yayasan, walau Pondok Berkah Quran Gratis, saya cukup empati kepada teman-teman yang membangun pendidikan berbayar, kadang wali santrinya gak punya perasaan, nganggap yayasan kayak vendor.

 

Makanya saya suka bilang ke temen-temen yayasan pendidikan berbayar, kita gratisin aja, wali santri aneh-aneh begitu gak usah diijinkan aja anaknya masuk, suruh bikin pondok sendiri. Kesel saya. Jujur. Gak ngerti investasi generasi.

 

***

 

Sama juga di masjid-masjid, saya sering bilang sama takmir, peradaban itu bukan di menara, bukan di kubah, bukan di marmer, peradaban itu di manusia.

 

Boleh aja beli marmer dari Yunani, asal ada anggaran untuk manusia, ada anggaran untuk makan, untuk ustadznya, untuk pendidik, untuk operasional pembinaan anak-anak, untuk beli kitab, beli meja.

 

Ini aneh banget, uang marmer ada, gaji ustadz gak ada.

 

Uang bangun asrama mentereng ada, tapi biaya untuk kafalahi wali asrama gak ada, musyrif disuruh relawan, padahal musyrif punya keluarga.

 

Nyantunin keluarga ustadz pembina anak-anak berapa sih? Kalo mentok 5 juta per bulan pun, dikali 12 cuma 60 juta. Bandingkan sama marmer yunani mu yang ratusan juta sampai miliaran itu? Coba bandingkan?

 

Hari ini bangunan masjid besar-besar, kotor gak terawat, kenapa? Karena gak ada manusianya, gak ada programnya, gak ada aktivis kader masjidnya. Blass kosong. Kenapa? Ya karena kita gak mau investasi program.

 

Kita ini salah bangun cara berfikir, kita fikir ormas itu keren kalo bangunannya besar. Kita fikir nama besar masjid itu pada bangunannya, padahal semua itu ada pada manusianya, ada pada generasinya.

 

***

 

Lewat tulisan ini saya mengajak dengan penuh kerendahan hati, ayok lah kita sadar. Mau gak mau kita akan bayar harganya. PASTI.

 

Pilihannya mudah, mau bayar sekarang, pra bayar didepan, dalam bentuk program preventif pencegahan kerusakan. ATAU kita bayar dibelakang, paskabayar, dalam bentuk biaya penanggulangan kerusakan.

 

Masyarakat ini sudah rusak parah. Perzinahan, pesugihan congkel mata, narkoba berbagai varian, rumah tangga sesama jenis, rusak luar biasa. Error berat.

 

Kalo supply generasi ini kita gak baikin, ini akan lebih gawat lagi. Sementara generasi kita sekarang rawan serangan game online, arus informasi bebas, ngeri banget.

 

Jadi ayoklah investasi. Kami pun di Pondok Berkah Quran selalu mikir, gimana supaya kapasitas santri naik. Baru 30an santri. Kami mendambakan tahun depan bisa terima 100 santri, lalu tahun depannya 200 lagi, dan santri bisa belajar setidaknya 6 tahun, hingga tuntas setara aliyah.

 

Otak dan hati ini berputar mikirin asset asramanya, kelas belajarnya, penghimpunan wakafnya.

 

Kami muter mikir keras gimana asrama ustadz ustadzahnya, kalo ada yang sudah nikah gimana fasilitas pendukungnya.

 

Untuk semua guru dan santri, kami mikirin gimana makannya, gimana operasional listrik airnya, kalo ada yang sakit gimana, kami juga mikir pengobatannya.

 

Itulah yang kami fikirkan keras. Karena kami ngerti, ini harus kami bayar.

 

Pada akhirnya kita harus bertanya pada diri kita sendiri,

 

Untuk kebangkitan Islam di dunia ini, berapa kita berani bayar?

 

URS – Pengasuh Masjid BerkahBOX

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.