Pengetahuan Umum

HEBOH BSNP DIBUBARKAN, INILAH YANG SEPATUTNYA DIREFORMASI

 

Oleh: Dr. Adian Husaini

 

Kasus pembubaran BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) masih terus menuai kontroversi. Malam ini, saya mengirimkan WA kepada dua orang profesor yang saya nilai sangat memahami masalah pendidikan. Saya meminta tanggapan keduanya tentang pembubaran BSNP oleh Mendikbud.

Kedua guru besar itu memberikan jawaban yang menarik. Salah satunya adalah jawaban dari Prof. Daniel Rasyid, guru besar ITS Surabaya. Berikut ini jawaban Prof. Daniel Rasyid yang sudah beliau izinkan untuk saya muat dalam artikel ini:

 

“Sejak lama saya tidak setuju dengan standar pendidikan. Yang berlaku saat ini adalah standar persekolahan karena terlalu rinci sehingga membenarkan dugaan bahwa persekolahan hanya instrumen teknokratik untuk menyiapkan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk bekerja bagi kepentingan investor asing. Jika ada standar harus generik, tidak rinci, tetap memberi ruang bagi keunikan personal warga belajar, dan spasial sesuai potensi lokal.”

 

Jawaban ini menarik, sebab beliau mengajak kita berpikir secara mendasar tentang pendidikan. Bukan hanya berpikir tentang hal-hal teknis-teknis dalam pendidikan. Sayangnya, kasus pembubaran BSNP ini masih disikapi oleh media massa dengan menyoal soal-soal yang kurang mendasar.

 

Sejumlah berita tentang pembubaran BSNP banyak yang memuat kritik-kritik dan penyesalan atas pembubaran BSNP. Di satu stasiun TV ada liputan khusus yang menyebutkan, bahwa dengan pembubaran BSNP, sama saja pemerintah itu laksana murid yang membuat soal ujian sendiri dan mengevaluasi hasil ujiannya.

 

Benarkah seperti itu? Menurut hemat saya, sebenarnya, jika mengikuti cara berpikir Mendikbud Nadiem Makarim selama ini, apa yang dilakukannya bukan hal aneh. Itu sudah bisa diprediksi sejak awal ia diangkat menjadi Mendikbud. Bahkan, sebelum jadi menteri pun, ia sudah memiliki pandangan tentang pendidikan yang menurutnya lebih sesuai untuk menyambut era disrupsi.

 

Silakan disimak pada artikel tanggal 23 Januari 2021 yang berjudul: “Reformasi Pendidikan Nasional Pasca Covid-19.” Dalam artikel itu, saya sebutkan, bahwa belum sebulan diangkat sebagai Mendikbud, pada 17 November 2019, Menteri Nadiem mengumumkan LIMA kebijakan untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia.

 

LIMA kebijakan itu ialah: (1) Prioritaskan pendidikan karakter dan pengamalan Pancasila, (2) Potong semua regulasi yang menghambat terobosan dan peningkatan investasi (3) Kebijakan pemerintah harus kondusif untuk menggerakkan sektor swasta agar meningkatkan investasi di sektor pendidikan, (4) Semua kegiatan pemerintah berorientasi pada penciptaan lapangan kerja dengan mengutamakan pendekatan pendidikan dan pelatihan vokasi yang baru dan inovatif, (5) Memperkuat teknologi sebagai alat pemerataan baik daerah terpencil maupun kota besar untuk mendapatkan kesempatan dan dukungan yang sama untuk pembelajaran. (https://tekno.tempo.co/read/1273133/5-kebijakan-mendikbud-nadiem-untuk-kembangkan-pendidikan).

 

Setelah itu, diluncurkan kebijakan “Merdeka Belajar” dan “Kampus Merdeka”. Tetapi, di bulan Februari 2020, Allah SWT mengirimkan wabah Covid-19 ke Indonesia dan berbagai negara lainnya. Dan di bulan Mei 2020, di tengah serangan pandemi Covid-19, Kemendikbud meluncurkan lagi kebijakan baru: “Peta Jalan Pendidikan Indonesia, 2020-2035”.

 

Melalui Peta Jalan ini, Kemendikbud merumuskan tantangan yang dihadapi dunia Pendidikan Indonesia kini dan ke depan, dan sekaligus memberikan solusinya. Disebutkan, bahwa “Visi Pendidikan Indonesia 2035” adalah: “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”

 

Ketika itu, kita sudah mengusulkan ide, bahwa yang perlu dilakukan adalah: “Reformasi Pemikiran Pendidikan dan Pembangunan di Indonesia”. Itu menyangkut perumusan ulang makna konsep-konsep kunci dalam pendidikan dan pembangunan, seperti konsep: “manusia”, “kemajuan”, “kesuksesan”, “iman”, “taqwa”, “akhlak”, “ilmu”, “pendidikan”, “pendidikan tinggi”, “guru”, “ilmu”, dan sebagainya.

 

Mengikuti gagasan Prof. Daniel Rasyid, saya setuju dilakukan juga reformasi konsep “standar pendidikan”. Janganlah “standar pendidikan” itu dibuat terlalu rinci, sampai-sampai membelenggu guru dan dosen untuk berkreasi dan berimprovisasi dalam pelaksanaan program pendidikan. Padahal, yang terpenting dalam pendidikan, adalah standar kompetensi lulusan.

 

Sebab, di atas dasar makna-makna itulah berbagai program Pendidikan kemudian dijalankan. Sepintas, tampak jelas, bahwa konsep dan Peta Jalan Pendidikan itu terlalu sempit dalam memaknai pendidikan, sebagai proses penciptaan pekerja industri yang baik. Konsep negara maju pun masih mengikuti konsep lama, dengan indikator pendapatan per kapita. Begitu juga dengan konsep “universitas unggul”, nyaris “sepenuhnya” mengikuti konsep universitas di Barat dan negara yang dianggap maju.

 

Dalam artikel 23 Januari 2021 itu, kita usulkan juga, setelah reformasi konsep, berikutnya dilakukan reformasi Manajemen Pendidikan, khususnya pada tingkat Kementerian Pendidikan. Era disrupsi dan serangan pandemi Covid-19 seharusnya menyadarkan kita, bahwa yang diperlukan saat ini adalah efisiensi dalam berbagai bidang. Kompetensi lebih diutamakan ketimbang gelar akademik.

 

Dengan melimpahnya informasi tentang pendidikan, sudah bukan saatnya lagi pemerintah melakukan intervensi terlalu jauh dalam pengaturan dan pengawasan pendidikan. Pemerintah cukup memberikan panduan, arahan, bantuan, pengawasan “standar kompetensi lulusan”, dan pembentukan model-model ideal Lembaga Pendidikan.

 

*****

 

Kita belum tahu benar, apa yang akan dilakukan Mendikbud setelah membubarkan BSNP. Tetapi, tampaknya, sesuai dengan LIMA rencana kebijakannya, Mendikbud sedang melakukan program: “Potong semua regulasi yang menghambat terobosan dan peningkatan investasi.”

 

Kita berharap, setelah BSNP dibubarkan, TIDAK akan muncul lembaga atau mekanisme baru yang lebih menyulitkan para pelaku pendidikan. Kita berharap ada perubahan atau reformasi yang mendasar dalam pendidikan kita, dengan tetap merujuk kepada Konstitusi, pasal 31 (3) UUD 1945. Bahwa, pendidikan kita memang harus melahirkan manusia-manusia berakhlak mulia. Itu kunci keunggulan!

 

Untuk itu, kita perlu maju dengan melompat; bukan merayap! Pendidikan Indonesia perlu memiliki konsep yang unggul dan unik, sehingga tidak menjadi satelit yang mengekori pendidikan negara-negara lain yang dianggap maju! Wallahu A’lam bish-shawab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.