Beberapa waktu lalu, saya dihubungi oleh salah satu orang tua yang anaknya berusia remaja. Percakapan yang dibalut rasa khawatir terdengar saat orangtuanya mengucapkan “tolong mas, tolong anak kami”. Saya pun meminta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya.
Sang ibu pun menceritakan sambil sesekali mengusap air matanya mengenai anaknya yang perempuan kerap mengucapkan kata-kata kasar kepada kedua orangtuanya. Kata-kata kasar inipun dilontarkan saat anak tersebut sedang marah dan permintaannya tidak terpenuhi. Kata-kata kasar yang dikeluarkan anak perempuan tersebut antara lain anj*ng, b*bi, g*blok, dan lainnya.
Tibalah saya menemui anaknya disuatu tempat. Ternyata cukup sulit dan membutuhkan waktu lama untuk membangun rapport dengan anak itu. Hingga pada suatu sesi saya tanyakan.
Saya : “Apa yang kamu inginkan terhadap orang tuamu?”
Anak : “Aku cuma ingin orang tuaku ngertiin aku”. Ungkapnya sambil terisak dan mengeluakan air matanya”
Sayapun penasaran dengan maksud kalimat yang dilontarkan, hingga akhirnya ia mengungkapkan bahwa dirinya tidak ingin disalahkan dan dibandingkan. Ia merasa kesal saat setiap ada masalah yang menimpa dirinya, ia selalu curhat ke ibu atau ayahnya. Namun yang ia harapkan dari orangtuanya berupa dukungan, penerimaan, dan semangat serta pelukan tidak kunjung didapatkan. Ini terjadi selama kurang lebih 2-3 tahun lamanya. Sungguh kesal, marah, dan benci seketika itu terjadi pada dirinya hingga tertumpuk dan meletuslah luapan emosi kemarahannya.
Lalu anak perempuan ini pun berkata “Aku dendam dengan orang tuaku”. Beranjak dari ungkapan tersebut saya pun mengungkap harapan yang diinginkan anak tersebut. Inilah yang disebut unfinished bussiness, ini terjadi ketika kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika ini tidak selesai, maka akan muncul permasalahan baru yang bisa jadi lebih dahsyat dari masalah sebelumnya.
Seperti ilustrasi Got/Saluran Air yang mampet. Maka tugas kita yang pertama adalah membuat saluran tersebut lancar agar tidak terjadi banjir. Jadi saat anak sedang dalam masalah, jangan pernah menyalahkan anak. Terima saja perasaan/emosinya dulu.
Contoh :
Anak : Bu, masa tadi aku diejek sama temanku di depan kelas.
Ortu Keliru : Ya, kamunya mungkin ngeledek duluan. (Menyalahkan)
Coba kalo pendiem kaya kakak kamu pasti gak diejek. (Membandingkan)
Komunikasi seperti di atas akan membuat anak diam dan merasa ortunya gak asyik. Mereka akhirnya mengumbar statusnya di medsos.
Ortu Benar : Ya Allah, malu ya kamu diejek teman? Malu banget ya?
Komunikasi ini biasanya akan membuat anak menjawab dan akan menceritakan/mengalirkan apa yang terjadi padanya (emosinya).
Saat emosi mengalir, anak akan belajar bahwa lawan bicaranya asyik, enak diajak ngobrol, dan bisa dibilang kekinian lah. Bukankah orangtua perlu hadir sebagai teman saat anaknya remaja?
So, ayah bunda cobalah alirkan emosi anak yang sedang bermasalah. Meminta maaflah jika terlanjur keliru selama berkomunikasi dengannya dan ubahlah cara kita berkomunikasi dengan anak yang beranjak remaja.
Ditulis oleh Ahmad Syarief, S.Psi
Trainer dan Konselor Remaja Yayasan Kita dan Buah Hati