News

MEMBANGUN PERADABAN TIDAK BISA INSTAN

 Suatu ketika di tahun 2016, seorang tokoh Islam senior di Jawa Timur, mengajak saya berbicara serius. Begini nasehatnya: “Jangan habiskan energi Anda untuk merespon segala sesuatu, sehingga anda tidak sempat membangun apa-apa.”
            Nasehat sang tokoh itu saya renungkan secara mendalam. Itu nasehat seorang yang telah kenyang makan asam garam perjuangan. Umur beliau saat ini 75 tahun. Banyak karya dakwah yang beliau hasilkan. Bahkan, beberapa diantaranya menjadi model.
Peringatan sang tokoh itu mengingatkan saya pada banyak peristiwa sejarah. Rasulullah saw berhasil membangun peradaban hebat di Madinah setelah berjuang puluhan tahun, sejak usia belia. Rasulullah saw sangat aktif dalam urusan kemasyarakatan, sehingga pada usia 25 tahun, beliau dianugerahi gelar “al-Amin” (orang yang terpercaya). Itu prestasi peradaban yang luar biasa. Beliau adalah guru terbaik dan pemimpin terbaik.
Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa sekitar tahun 1399 M.  Dengan aktivitas dakwah yang hebat bersama para Wali lainnya, sekitar 80 tahun kemudian, berdirilah sebuah Kerajaan Pertama di Kota Demak. Perjalanan Raden Patah menjadi Raja muslim pertama di Tanah Jawa melalui perjuangan yang panjang, sejak menjadi santri Sunan Ampel di Surabaya.
Dalam buku “Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam” (Jakarta: GIP, 2006), saya meneliti pergerakan Free Mason di Turki Utsmani dan kemunculan Gerakan Turki Muda. Generasi baru Turki yang berpikir sekuler disiapkan dalam waktu puluhan tahun. Gerakan ini sabar menunggu keruntuhan Turki Utsmani dari dalam. Ketika Sultan Abdul Hamid menolak keras permintaan kaum Yahudi untuk membangun negara Yahudi di Palestina, maka   disiapkanlah generasi baru Turki yang berbeda pikirannya dengan generasi Sultan Abdul Hamid.
Tahun 1897, pendiri Zionis modern Theodore Herzl mencatat dalam catatan hariannya bahwa negara Yahudi akan berdiri dalam waktu 50 tahun. Dan negara Israel kemudian muncul 14 Mei 1948. Herzl bekerja keras melakukan berbagai aktivitas untuk mewujudkan cita-citanya, meskipun mayoritas kaum Yahudi di Eropa ketika itu menolak gagasannya.
Karena itulah, nasehat sang tokoh senior dari Jawa Timur itu patut direnungkan untuk memecahkan problematika umat Islam Indonesia. Saat ini, begitu banyak masalah umat dan bangsa yang harus dicermati dan disikapi. Ada masalah politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya,  dan sebagainya.
Ibarat mengobati penyakit, perlu dilakukan diagnosa yang tepat agar didapat solusi yang tepat pula. Masalah-masalah yang sifatnya simptomatis, harus diobati segera. Tetapi, peru dilakukan terapi secara kausalis. Akar masalahnya harus ditemukan dan diberikan terapi yang mendasar.
Seorang guru besar, pakar peradaban Islam,  menyampaikan rumus menarik: “Jika anda kalah dalam satu sektor, jangan kalah di semua sektor. Jika anda kalah sekarang, janganlah anda kalah di masa datang!”
Di sinilah pentingnya kita merenungkan firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan-Nya dalam kondisi shaf yang rapi, laksana satu bangunan yang kokoh.” (QS ash-Shaf: 4).
Masalah umat Islam Indonesia itu begitu besar dan kompleks. Diperlukan ukhuwah dan kerjasama perjuangan umat dalam mengatasi masalah dan mewujudkan tujuan perjuangan mewujudkan misi kenabian. Yakni menegakkan kalimah tauhid  dan menyempurnakan akhlak mulia. Perlu dihindarkan prasangka-prasangka buruk terhadap sesama muslim, jika ada perbedaan dalam menyikapi suatu masalah umat dan bangsa. Diperlukan tabayyun dan silaturrahim agar tidak terjadi kesalahpahaman.
*****
Dalam tataran individual, ada pelajaran penting dari kitab Ta’limul Muta’allim, karya Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji. Penulis kitab ini mengatakan, “tamannayta an tamsiya faqiihan munaaziran bighairi ‘anaa’, wal junuun funuun, wa laisa iktisaabul mal duna al-masyaqqah tahammalaha, fa al-‘ilmu kaifa yakuun?” (Engkau berkeinginan menjadi seorang ahli fiqih yang pandai berargumen tanpa adanya usaha yang keras. Sementara orang gila itu bermacam-macam, dan tidak akan pernah harta itu didapat tanpa melakukan usaha. Apalagi ilmu!)
            Menjadi seorang ulama atau ilmuwan pun perlu kesabaran dan perjalanan yang panjang. Imam Syafii mensyaratkan “waktu yang panjang” untuk meraih ilmu. Jadi, mewujudkan peradaban mulia atau melahirkan seorang ulama hebat perlu waktu yang panjang; tidak bisa instan.
Untuk meraih kejayaan di bidang ilmu, diperlukan kesungguhan.  Ilmu  membutuhkan penghafalan, perenungan, pemikiran serta pemahaman yang mendalam, dan juga pengulangan. Otak setiap orang tentu berbeda, sekalipun otaknya cerdas, tetap saja tidak ada jalan pintas bagi dia untuk memperoleh ilmu.  Jadi untuk memperoleh sesuatu yang sangat tinggi dan mulia, perlu usaha yang keras dan kesungguhan, bukan dengan cara yang mudah dan instan.
Peradaban Islam dibangun di atas dasar ilmu yang benar. Untuk mewujudkannya,  diperlukan ilmu yang benar pula. Bukan asal semangat dan asal berbuat. Wallahu A’lam bish-shawab.
Ditulis oleh: Dr. Adian Husaini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.