News

BANGUNLAH JIWANYA, BANGUNLAH AKHLAKNYA, BANGUNLAH BADANNYA

Ibnu al-Haitsam (w. 1038 M), seorang ilmuwan muslim terkemuka, menulis sebuah buku penting, tentang pendidikan akhlak. Judulnya: “Tahdzib al-Akhlaq” (Diterjemahkan oleh Dr. Muhammad Ishaq dengan judul “Pendidikan Akhlak” (Bandung: Ellunar, 2020). Buku ini patut dibaca para ulama, guru, santri, juga pejabat pemerintahan.
            Kata “tahdzib” dalam bahasa Arab memang dimaknai sebagai “memperbaiki, memperhalus, atau membetulkan” (reformation, refinement). Penerjemah – yang dikenal sebagai pakar pemikiran sains Ibn Haitsam — lebih memilih kata “Pendidikan Akhlak” untuk judul kitab Ibn al-Haitsam ini. Pilihan ini sesuai dengan kandungan kitabnya.
            Tema utama Tahdziib al-Akhla?q adalah bagaimana menuntun manusia menuju manusia sempurna, yang diistilahkan dengan beberapa ungkapan seperti al-insa?n al-ta?mm (manusia sempurna), al-insa?n al-ka?mil (manusia seutuhnya atau manusia paripurna).
Dalam karyanya yang lain Ibn al-Haytham juga menggunakan istilah al-insa?n al-h?aki?m yaitu manusia bijaksana atau manusia yang telah meraih ilmu hikmah. Konsep “manusia sempurna” telah dikenal dalam perbincangan filsafat di masa lalu sebagai suatu model manusia yang hendaknya setiap manusia berusaha untuk mencapainya.
Rasulullah saw bersabda, bahwa manusia yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya. Menurut Ibn al-Haitsam, manusia sempurna biasanya memiliki empat kebajikan utama yaitu: (1) adil (‘adl), (2) berani (shaja??ah), (3) menjaga kesucian (?iffah), dan (4) bijaksana (h?i?kmah).
Dalam Kitab Ih?ya?? ?Uluumiddiin Imam al-Ghazali, menyebut Nabi Muh?ammad saw sebagai sosok manusia sempurna. Kata Imam al-Ghazali: “Dengan demikian induk dari akhlak dan pokok-pokoknya ada empat, yaitu kebijaksanaan, keberanian, kesucian, dan keadilan. (fa-idzan ummahaatul akhlaaqi wa-ushuluha arba’atun: al-hikmatu, wa al-syaja’atu, wal-‘iffatu, wal-‘adlu). Namun, lanjut Imam al-Ghazali, tidak ada manusia yang benar-benar mampu mecapai kesempurnaan akhlak, kecuali Rasulullah saw.
Jalan untuk menjadi manusia sempurna adalah dengan memiliki seluruh akhlak yang terpuji dan menjauhkan diri dari akhlak-akhlak tercela. Untuk itu manusia perlu mengetahui tiga kekuatan atau jiwa yang ada dalam dirinya,  yaitu kekuatan atau jiwa keinginan (nafs shahwa?niyyah), jiwa marah (nafs ghad?biyyah), jiwa rasional (nafs ?a?qilah).
Masih menurut Ibn al-Haitsam, manusia akan mampu menguasai akhlak yang terpuji dan menjauhkan diri dari akhlak yang tercela,  hanya jika ia mampu mengatur setiap jenis jiwa tersebut berada pada titik tengahnya; tidak dalam kondisi melampau atau ekstrem; baik itu ekstrem berlebihan atau ekstrem berkekurangan. Ia harus meletakkan jiwa rasionalnya sebagai pengendali kedua jenis jiwa yang lain.
            Jika seseorang mengikuti hal-hal baik dan menghindari hal-hal tercela, maka ia akan menjadi manusia sempurna atau al-insa?n al- ta?mm. Manusia yang sempurna adalah manusia yang telah mencapai kebahagiaan hakiki di dunia ini sebagaimana dinyatakan Ibn al-Haytsam: “… maka ia tidak akan lama lagi untuk sampai pada kesempurnaan, dan naik menuju puncak dari keparipurnaan, sehingga ia meraih kebahagiaan insani …”
Konsep kesempurnaan akhlak ini ditujukan untuk semua manusia yang menginginkan kesempurnaan akhlak. Tapi, secara khusus Ibn al-Haitsam juga mengarahkannya pada para penguasa dan para pemimpin.
Bangun jiwanya!
Ibn al- Haitsam mendefinisikan akhlak sebagai berikut: “Akhlak adalah suatu keadaan jiwa, yang dengannya manusia melakukan suatu perbuatan tanpa pertimbangan dan tanpa memilih-milih.” Definisi ini mirip dengan definisi akhlak-nya Imam al-Ghazali: “Akhlak adalah kondisi jiwa yang tertanam di dalamnya, yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan dipertimbangkan.”
            Sedangkan Ibn Miskawaih memberi penjelasan tentang akhlak: “Khuluq merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan seorang bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam.”
            Dalam buku ini, Ibn al-Haitham menyebutkan 20 akhlak yang secara umum dipandang baik, yaitu: (1) Kesucian (al-?Iffah), (2) Merasa Cukup (al-Qana??ah), (3) Menjaga Diri (al-Tas?awwun), (4) Kemurahan Hati (al-H?ilm), (5) Ketenangan (al-Waqa?r), (6) Cinta (al-Wuddu), (7) Kasih Sayang (al-Rah?mah), (8) Kesetiaan (al-Wafa??), (9) Menyampaikan Amanah (Ada??u al-Ama?nah), (10) Menyimpan Rahasia (Kitma?n al-Sirr), (11) Rendah Hati (al-Tawa?d?u?), (12) Ceria (al-Bishr), (13) Berkata Benar (S?idq al-Lahjah), (14) Kebersihan Niat (Sala?mat al-Niyyah), (15) Dermawan (al-Sakha??), (16) Berani (al-Shaja??ah), (17) Berlomba  (al-Muna?fasah), (18) Bersabar dalam ujian (al-S?abr ?inda al-Shada??id), (19) Cita-Cita yang Besar (?iz?am al-Himmah), (20) Adil (al-?Adl).
            Berdasarkan definisi akhlak dan cara mencapai kesempurnaan yang dikemukakan Ibn al-Haitsam, jelas bahwa akhlak bersumber dari jiwa yang bersih. Karena itu, proses pembentukan akhlak mulia, harus dimulai dengan proses tazkiyatun nafs (pensucian jiwa).  Semua kemuliaan itu tidak akan tercapai jika tidak dilandasi keimanan kepada Allah dan kepada Hari Akhirat.
Jadi, ungkapan dalam Lagu Indonesia Raya: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, sejatinya bermakna: “Bangunlah jiwanya, bangunlah akhlaknya, dan bangunlah badannya!”
 Pasal 31 (3) UUD 1945 lebih tegas mengamanahkan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia…”
            Membangun jiwa manusia – apalagi jiwa bangsa – memerlukan keikhlasan niat, kesungguhan (mujahadah), dan proses yang panjang. Ini bukan perkara mudah dan “ujug-ujug”. Ini masalah serius bagi kemajuan bangsa kita ke depan. Jangan sampai masalah pembangunan jiwa, pembangunan akhlak, dan pembangunan badan ini dijadikan slogan politik politik semata.
            Rasulullah saw mengingatkan, betapa mulia dan betapa beratnya proses pembangunan jiwa itu, sehingga pelakunya disebut sebagai seorang “mujahid”:  “Al-mujaahidu man jaahada nafsahu.”  Kata Nabi saw, seorang mujahid adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsunya. (HR at-Tirmidzi).
            Semoga kita dan para pemimpin kita bisa meneladani Nabi Muhammad saw dalam pembangunan jiwa, akhlak, dan badan kita. Sebab, beliaulah contoh terbaik dalam hal ini. Dengan itu, insyaAllah, kita meraih kemuliaan di dunia dan akhirat! Aaamiin…
Ditulis oleh: Dr. Adian Husaini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.