News

BUNG HATTA: MANUSIA ITU HAMBA ALLAH, HARUS MERASA BERSAUDARA

Menyimak berbagai pemberitaan tentang kondisi negeri kita saat ini, kita perlu melakukan banyak perenungan, istighfar, dan doa kepada Allah SWT. Semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan selamat dan berjaya menjadi negeri muslim terbesar yang kuat. Sesama muslim bersaudara dalam iman. Sesama warga NKRI adalah bersaudara sebangsa.
Pasca Hijrah ke Madinah, Rasulullah saw mempersaudarakan antar-sesama muslim, mengajak seluruh warga Madinah untuk hidup di bawah naungan Konstitusi Madinah. Kaum Yahudi, misalnya, diberikan hak untuk menjalankan agama mereka, pendidikan mereka. Mereka juga memiliki hak dan kewajiban untuk mempertahankan negara Madinah.
Tentu saja, kaum muslim pasti menjadikan Rasulullah saw sebagai suri tauladan yang baik, dalam seluruh aspek kehidupan. Di Indonesia, para pendiri bangsa Indonesia telah merumuskan kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara dalam sebuah Konstitusi bernama UUD 1945.
Kiranya penting untuk kita simak kembali bagaimana para pendiri bangsa ini memaknai Pancasila, khususnya sila kedua. Dalam bukunya, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (2002), Dr. Yudi Latif menjelaskan makna sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” menurut beberapa tokoh pendiri bangsa.
Menurut Bung Hatta:  “Yang harus disempurnakan dalam Pancasila, ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila Kemanusiaan yang adil dan beradab langsung terletak di bawah sila pertama. Dasar kemanusiaan itu harus dilaksanakan dalam pergaulan hidup. Dalam segala hubungan manusia satu sama lain harus berlaku rasa persaudaraan. Persaudaraan itu menembus batas nasional, yaitu persaudaraan manusia antarbangsa, dan persaudaraan antarbangsa-bangsa dengan prinsip kesedarajatan manusia.”
Ki Hajar Dewantara pernah memberikan penjelasan tentang sifat beradab: “Pancasila menjelaskan serta menegaskan corak warna atau watak rakyat kita sebagai bangsa-bangsa yang beradab, bangsa yang berkebudayaan, bangsa yang menginsyafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan hidup kebangsaannya dengan dasar perikemanusiaan yang universal, meliputi seluruh alam kemanusiaan, yang seluas-luasnya, pula dalam arti kenegaraan pada khususnya.”
Sementara itu, Bung Karno menyatakan, sila kedua itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak menganut paham kebangsaan yang picik,, melainkan nasionalisme yang luas. Soekarno memandang internasionalisme sama dengan “humanity”, peri-kemanusiaan.  Soekarno terinspirasi oleh Gandhi yang menyatakan: My nationality is humanity.”  Namun, Bung Hatta mengingatkan, bahwa berhubung dengan  power politics, maka kita harus berhati-hati mengartikan internasionalisme sama dengan humanity.
Menurut Dr. Yudi Latif,  kalimat “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah satu kesatuan, yang harus diucapkan dalam satu tarikan nafas, untuk bisa memahaminya secara utuh. Kemanusiaan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik ini adalah “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam pelbagai dimensi dan menifestasinya.
Di sini, tegas Yudi Latif, “Dimensi humanitarianisme dan universalitas hadir begitu kuat mewarnai sila kemanusiaan. Prinsip egalitarianisme dan emansipasi tampak kental, meski secara tersirat.”
Perlu dicatat, rumusan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sangat berbeda dengan rumusan yang pernah diusulkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya.  Prof. Kaelani, dalam bukunya, Pendidikan Pancasila, (2010), mencatat, bahwa Muhammad Yamin, dalam Sidang BPUPK, tanggal 29 Mei 1945, mengusulkan rumusan sila keduanya: “Peri Kemanusiaan”.
Soekarno, pada 1 Juni 1945, mengusulkan rumusan sila kedua: “Internasionalisme atau Perikemanusiaan.”  Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku 29 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 memuat rumusan sila kedua: “Peri Kemanusiaan”. Rumusan “Peri Kemanusiaan”  ini juga diteruskan dalam Konstitusi UUDS, 1950 sampai 5 Juli 1959.
Dengan mencermati berbagai rumusan sila  kedua yang pernah diusulkan atau dicantumkan dalam beberapa Konstitusi RI, tampak bahwa dua istilah  – “adil”  dan “adab”  — ini memiliki makna dan kedudukan penting dalam ajaran Islam.
Adil adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya):  “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat  dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS an-Nahl:90).
            Apa pun kondisi saat ini, kita wajib berjuang dan berdoa agar NKRI tetap utuh dan berjaya di masa depan.
Ditulis oleh: Dr. Adian Husaini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.