Masih segar dalam ingatan, ketika sebuah stasiun televisi swasta menayangkan profil tentang kondisi pendidikan di negeri ini, melalui sebuah highlights “Menggugat Pendidikan Nasional” yang menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009 untuk sektor pendidikan. Pemerintah yang menganggarkan 20% dari APBN untuk pendidikan, disinyalir masih belum menjamin terselesaikannya persoalan pendidikan nasional negera ini. Terbukti dengan masih kurang meratanya fasilitas pendidikan dan terabaikannya hak-hak anak dalam mengenyam pendidikan, serta dengan banyaknya bangunan-bangunan sekolah di negeri ini yang rusak dan tak layak digunakan untuk belajar. Hampir mencapai 50% untuk bangunan SD/MI, 18% bangunan rusak untuk SMP dan MTs serta jumlah anak putus sekolah untuk tingkat SD yang mencapai 2,97% atau sekitar 211.063.000 jiwa. (sumber: Depdiknas 2007/2008).
Kenyataan di atas sangat mengiris hati, bagaimana mungkin peradaban bangsa ini akan di bangun sementara pendidikan sebagai alat untuk membangun manusianya pun belum menjadi prioritas yang utama.
Jutaan anak bangsa merintih di sudut-sudut bumi pertiwi, tidak hanya perut kosong menunggu datangnya nasi, tapi otak mereka pun turut meminta haknya untuk diberi ilmu. Anak-anak negeri hanya bisa berharap dengan tapak-tapak kaki mereka yang terlalu lemah untuk berlari mengejar cita-cita, sementara para pemimpin negara menghambur-hamburkan uang dengan dalih untuk mempersiapkan pesta demokrasi yang sebentar lagi berlangsung di negeri ini. Sekolah roboh di sana-sini, anak-anak putus sekolah dapat ditemui di mana-mana, hampir di setiap jalanan baik perempatan, pertigaan lampu merah dan di tempat lainnya kita temui anak-anak usia sekolah itu berkeliaran. Sebagian dari mereka menjadi pengemis, pengamen dan pedagang asongan, tak terkecuali yang dieksploitasi sebagai sapi perahan demi membantu orang tua mereka memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit (lagu Iwan Fals).
Terlepas dari faktor ekonomi yang “memaksa” mereka untuk melakukan hal tersebut. Tetapi ditinjau dari sisi lain, permasalahan ini sebenarnya merupakan tugas utama pemerintah untuk segera mewujudkan “kemerdekaan” pendidikan terutama bagi anak-anak bangsa, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak , pasal 9 ayat (1)menyatakan ” Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”
Masih banyaknya anak yang belum mendapatkan hak dalam pendidikan tidak lepas dari latar belakang sejarah negeri ini dan kondisi bangsa yang masih carut marut. Setelah beberapa kurun waktu kebelakang di awal era reformasi mengalami berbagai tempaan dan bencana. Hal ini memang bukan sepenuhnya kesalahan pemerintah. Namun, persoalan kemiskinan yang masih belum teratasi, korupsi yang terjadi di berbagai instansi (termasuk di lembaga yang mengatasnamakan wakil rakyat), pertarungan elit politik yang sudah menjadi santapan sehari-hari, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diikuti dengan naiknya berbagai harga makanan pokok dan persoalan-persoalan krusial lainnya, semuanya itu sudah barang tentu berdampak kepada sektor pendidikan di negeri ini yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara
Terlepas dari masalah yang dihadapi negara kita, pendidikan tetap harus menjadi prioritas yang utama bagi pemerintah. Karena kemajuan sebuah negara terkait erat dengan kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah tersebut. Harus diakui, bahwa pada kurun waktu belakangan kualitas pendidikan kita terutama di lembaga formal terus menurun ditandai dengan menurunnya kualitas sumber daya manusia. Bahkan dinilai masih gagal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan akhlaq mulia dan merajut kerukunan antar anak bangsa yang beragam latar belakangnya, demikian yang pernah dikatakan oleh Hafid Abbas ketika menjabat direktur jendral perlindungan Hak Asasi Manusia, terbukti dengan masih belum terciptanya masyarakat yang rukun dan damai bahkan bangsa Indonesia menjadi negara dengan tingkat kekerasan paling tinggi di dunia. Pakar pendidikan Arief Rachman juga pernah menilai terpuruknya bangsa dalam segala bidang disebabkan oleh masalah utama pendidikan yang tergambar dari kurang meratanya fasilitas, mutu guru, jumlah siswa, dan kurikulum yang belum mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa.
Menyoroti tentang kualitas pendidikan, sebuah informasi yang mencengangkan dari artikel yang ditulis di internet bahwa sebuah negara yang beribukota Helsinki tempat di mana sebuah perjanjian damai dengan GAM dirundingkan ternyata merupakan negara yang menduduki peringkat pertama sebagai negara yang kualitas pendidikannya terbaik di dunia. Peringkat I dunia diperoleh negara yang bernama Finlandia ini berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui sebuah tes yang dikenal dengan nama PISA yaitu mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca dan Matematika. Bahkan negara Finlandia bukan saja unggul secara akademis tetapi unggul dalam mewujudkan pendidikan bagi anak-anak yang lemah mental. Faktor yang meyebabkan negara Finlandia ini menjadi negara yang memiliki kualitas pendidikan terbaik di dunia ternyata salah satunya terletak pada peningkatan kualitas guru. Selain itu pula pemerintah Finlandia sangat memperhatikan anggaran untuk pendidikan serta memiliki sistem pendidikan yang berkualitas. Mulai dari kurikulum, metodologi pembelajaran, sistem penilaian, kinerja guru dan sebagainya, termasuk model pendekatan kepada siswa atau anak-anak ketika mereka menyampaikan pengajaran
Melihat suksesnya negara Finlandia tentunya banyak negara yang iri, termasuk negara Indonesia. Namun persoalannya sekarang bagaimana kita dapat mewujudkan kualitas pendidikan itu, dengan terlebih dahulu mewujudkan hak-hak anak negeri ini dalam mendapatkan pendidikan, dan upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menghadapi tantangan kedepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa agar negara kita jauh lebih bermartabat dan diakui oleh dunia internasional.