Pengetahuan Umum

PEMIKIRAN RASIONAL DAN SAINTIFIK DI NUSANTARA

 

Oleh: Adian Husaini

 

Salah satu mata kuliah yang saya ambil di program S3 ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) tahun 2003-2005 adalah “Reading in Malay Metaphysical Literature” (Membaca Teks Metafisika Melayu). Diantara kitab yang dikaji adalah “Hujjatus Shadiq li-Daf’i al-Zindiq” karya Syeikh Nuruddin al-Raniri.

 

Kitab ini ditulis dalam huruf Arab-Melayu. Ada beberapa mahasiswa asal Turki dan Malaysia yang mengambil mata kuliah tersebut. Ketika itulah saya bersyukur, bahwa sejak duduk di bangku sekolah dasar di kampung, saya sudah belajar huruf Arab Melayu di Madrasah Diniyah. Penguasaan khazanah Arab-Melayu (huruf Arab Pegon) semakin saya dalami di Pesantren ar-Rosyid, Bojonegoro, saat duduk di bangku SMA.

 

Penguasaan huruf Arab-Melayu ini menjadi pintu masuk untuk memasuki khazanah keilmuan Islam di wilayah Nusantara. Sebab, ribuan kitab para ulama ditulis dalam huruf Arab-Melayu. Jika huruf ini tidak dikuasai lagi oleh generasi muda muslim, maka akibatnya, terputuslah mereka dari sejarahnya.

 

Dampak berikutnya adalah kematian peradaban Islam-Melayu. Inilah yang dikatakan cendekiawan Muslim Muhammad Asad: bahwa suatu peradaban tidak akan bangkit jika peradaban itu kehilangan kebanggaannya atau terputus dari sejarahnya.

 

Jika generasi muda muslim terputus dari masa lalunya sendiri dan kehilangan kebanggaan terhadap peradabannya, maka mereka akan berpaling kepada peradaban lain. Dalam hal ini, peradaban Barat yang dibawa oleh penjajah akhirnya dijadikan alternatif jalan kebangkitan. Mitos yang dibangun adalah bahwa peradaban Barat memiliki keunggulan rasionalitas dan cara berpikir ilmiah. Dengan mengikuti rasionalitas Barat itulah, kaum muslimin akan meraih kemajuan, sebagaimana bangsa Eropa.

 

Tentu saja mitos itu tidak benar. Kedatangan Islam di wilayah Melayu-Nusantara terbukti membawa kebangkitan rasionalitas di alam ini. Ribuan karya para ulama di Nusantara membuktikan hal itu. Salah satunya, adalah pemikiran-pemikiran yang dirumuskan oleh Syeikh Nuruddin al-Raniri melalui berbagai karyanya.

 

Nama lengkapnya adalah Muhammad Jailani ibn Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Hamid al-Raniri (m.1068 H/1658 M) – yang lebih dikenal Syekh Nuruddin al-Raniri. Syeikh Raniri adalah seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh Darussalam. Karya-karyanya berpengaruh besar dalam tradisi pemikiran Melayu-Nusantara.

 

Al-Raniri dilantik menjadi Mufti Besar Aceh oleh Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M). Ia dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis. Lebih 25 kitab telah ditulisnya. Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud dan Dr. Khalif Muammar telah melakukan kajian mendalam terhadap salah satu karya terkenal al-Raniri, yaitu Durr al-Fara’id bi Sharh al-‘Aqa’id.

 

Kajian itu dituangkan dalam satu naskah berjudul “Kerangka Komprehensif Pemikiran Melayu Abad ke-17 Masihi Berdasarkan Manuskrip Durr al-Fara’id Karangan Sheikh Nurudin al-Raniri”. (International Journal of the Malay World and Civilisation, 2009). Menurut kedua sarjana tersebut, Durr al-Fara’id, besar kemungkinan mulai ditulis oleh al-Raniri saat dia berada di Pahang sebelum bertugas ke Aceh.

 

Durr al-Fara’id adalah karya mengenai akidah umat Islam. Kitab ini secara khusus membahas asas-asas keyakinan dan metafisika umat Islam termasuk juga epistemologi, ilmu kalam, dan falsafah kepimpinan, dan sebagainya. yang meliputi perbincangan hakikat ilmu, alam, sifat-sifat Allah, al-Qur’an, dosa besar, konsep iman, perkara-perkara yang menyebabkan seseorang kufur, mukjizat, para rasul, malaikat, kitab-kitab, Mi’raj Rasulullah, karamah, khilafah, imamah, tanda-tanda kiamat, azab kubur, surga dan neraka, kedudukan orang beriman dan lain-lain. Kebanyakan persoalan-persoalan tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengannya dijelaskan dengan panjang lebar dan mendalam dalam Durr al-Fara’id sehingga membentuk dan menggambarkan kerangka pemikiran komprehensif seorang Muslim.

 

“Oleh (karena) itu buku ini dapat dikatakan sebagai salah satu sumber utama pandangan alam (worldview) orang Melayu pada masa itu yang memiliki banyak persamaan dengan orang Islam di tempat lain,” tulis Prof. Wan Mohd Nor dan Dr Khalif Muammar.

 

Al-Raniri memulai kajian kitabnya dengan menerangkan sebuah konsep dasar dalam falsafah ilmu (epistemologi): “Kata segala orang yang beriktikad sebenarnya: hakikat segala sesuatu itu teguh jua, ertinya kebenaran segala sesuatu itu tetap dan teguh jua adanya,dan pada pengetahuan akan dia sebenarnya, ertinya kita iktikadkan bahawa segala yang dilihat seperti langit dan bumi dan barang yang dalam keduanya itu iaitu jua pada penglihatan dan pada pengetahuan demikianlah sama jua pada iktikad”.

 

Dengan ungkapan tersebut, al-Raniri telah membedakan golongan yang benar, yang disebut sebagai ahl al-haq, dengan golongan yang salah (yang disebut ahl al-batil). Golongan yang benar, Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, telah bersepakat terhadap banyak perkara dan menentang penyelewengan yang dilakukan oleh golongan lain, seperti golongan Sofis, Mu’tazilah, Khawarij, Jahmiyyah, Syi’ah dan sebagainya.

 

Prinsip ini juga sangat berbeda dengan prinsip pluralisme agama yang berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat dicapai seseorang manusia dengan pasti; bahwa ilmu yang dimiliki manusia selamanya relative; dan pemikiran sesat lainnya. Sedangkan bagi golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, sesuai dengan pandangan Islam, manusia dapat mencapai kepastian tentang sesuatu hakikat. Kepastian itu dapat diraih melalui pancaindera, wahyu, atau akal.

 

“Sudah tentu kebenaran yang dicapai melalui wahyu yang benar akan lebih autoritatif kerana ia diberikan oleh Allah Yang Maha Mengetahui. Dengan wujudnya wahyu ini maka pemisahan mutlak antara ilmu Tuhan dan ilmu manusia tidak terjadi. Sebahagian daripada ilmu Tuhan telah diberikan kepada manusia melalui nabi dan rasul. Maka ilmu manusia yang dibenarkan oleh wahyu ini pasti atau mutlak sifatnya.”

 

Selanjutnya, al-Raniri menjelaskan kesesatan golongan Sofis (Sophists) yang meragukan dan mengingkari wujudnya hakikat bagi segala sesuatu: “Adapun pada i‘tiqad Sufasta’iyyah bersalahan dengan demikian itu, tetapi kata mereka itu cita–cita dan wahm dan khayal sia-sia jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu mengikut pada i‘tiqad jika di i‘tiqadkan pada suatu itu kekal maka iaitu kekal jua dan jika di i‘tiqadkan baharu maka baharu jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu dalam syak jua dan yang syak itu tiada berputusan ertinya segala suatu itu bukannya iaitu, demikianlah i‘tiqad Sufasta’iyyah yang amat sesat itu”.

 

Kitab Durr al-Fara’id, ini juga membahas secara mendalam tentang sumber-sumber ilmu. Dipaparkan tentang tiga sumber ilmu: yaitu pancaindera, khabar Sadiq (wahyu, berita yang benar) dan akal. Akal, menurut Al-Raniri, dapat menjadi sumber ilmu bagi manusia. Dengan akal yang sehat, seseorang dapat mencapai keyakinan akan kewujudan Tuhan. Al-Raniri membuat paparan logika yang kuat bagaimana manusia bisa menemukan kewujudan Tuhan dengan akalnya.

 

Jadi, simpul Prof Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar, jelas bahwa pemikiran Islam yang dikembangkan oleh para ulama Nusantara, adalah pemikiran yang rasional dan saintifik. Mereka tidak sekali pun menanamkan pemikiran yang tidak rasional seperti mitos dan legenda.

 

Epistemologi Islam yang mereka paparkan, yang merangkum khabar Shadiq (wahyu), pancaindera dan akal rasional membuktikan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan mutlak antara wahyu dan akal. Justeru keduanya dapat berfungsi dalam usaha manusia untuk maju dan membangun peradaban yang tinggi. Wallahu a’lam bil-shawab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.