Ditulis Oleh: Dr. Adian Husaini
Banyak ulama dan cendekiawan muslim telah memperingatkan kaum muslimin akan ancaman keimanan di era modern ini. Karena itu, sedini mungkin, para pelajar dan santri harus diberikan pemahaman yang memadai tentang hakikat peradaban Barat modern dan ancamannya terhadap keselamatan iman.
Sayangnya, sepanjang kunjungan saya ke ratusan Lembaga Pendidikan Islam, masih amat sedikit yang secara serius menyiapkan guru-guru yang memahami tentang tantangan pemikiran kontemporer yang dapat mengancam keimanan para pelajar atau santri. Padahal, keberadaan guru-guru di bidang ini sangat penting.
Kita diperintahkan bukan hanya paham tentang iman, tetapi juga harus paham tentang hal-hal yang dapat membatalkan keimanan (riddah). Surat al-Fatihah mengajarkan, agar kita paham jalan yang lurus sekaligus paham jalan yang sesat. Paham tentang kesesatan, bukan untuk diikuti, tetapi untuk dihindari.
Pepatah Arab menyatakan: “araftu syarra laa lil-syarri, wa-laakin li-tauqiihi, faman lam yarif al-syarra minal khairi yaqa’u fiihi.” Aku paham tentang kejahatan bukan untuk mengikuti kejahatan itu, tetapi untuk menjaga diri darinya. Siapa yang tidak bisa membedakan antara kejahatan dengan kebaikan, makai a akan terjatuh dalam kejahatan itu.
*****
Sejarah peradaban Barat dibagi menjadi tiga periode: (1) periode klasik/awal sejarah, terjadi dari kemunculan peradaban Yunani sampai runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, sekitar tahun 372 M. (2) Zaman pertengahan dimulai dari akhir masa Romawi Barat sampai awal munculnya renaissance pada awal abad ke-14, dan (3) zaman modern Eropa.
Apakah yang disebut “modern”? Lawrence E. Cahoone, dalam buku The Dilemma of Modernity, (New York: State University of New York Press, 1988), menulis, bahwa “The concept of modernity, makes sense if we accept the notion that diverse sectors of modern culture and social life exhibit or have exhibited a common pattern or tendency: that, for example, the technological mastery of nature, democracy, the supremacy of the nation state, modern science, secularism, and humanism.”.
Max Weber, pakar sosiologi terkenal di Barat mencatat bahwa “the key development of the modern West, is “rationalization”. (Cahoone, Ibid). Dalam berbagai aspek dan nilainya, modernitas telah memunculkan tantangan besar terhadap agama-agama. Alain Touraine menyimpulkan: “The idea of modernity makes science, rather than God, central to society and at best relegates religious beliefs to the inner realm of private life.” (Alain Touraine, Critique of Modernity, (Cambridge: Blackwell Publishers, 1995).
Peradaban modern sangat mementingkan dunia (saeculum). Orang modern menjadikan manusia sebagai ”penentu” dan tujuan akhir bagi kehidupan mereka. Nilai-nilai yang dijadikan pedoman bukan lagi nilai agama.
Masyarakat Barat modern mengubah cara pandang ”theosentrisme” menjadi ”anthroposentrisme”. Jika dulunya, di zaman Pertengahan, semuanya memperhitungkan aspek agama dan Gereja, maka di zaman modern, mereka telah menjadi sekular dan liberal, yakni manusialah yang menentukan baik-buruk, benar-salahnya suatu tindakan; bukan lagi nilai-nilai agama.
Dalam politik, misalnya, mereka mengagungkan Niccolo Machiavelli yang mengatakan bahwa politik adalah semata-mata seni untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Politik tidak ada hubungannya dengan agama atau moralitas.
Dalam ekonomi, yang terpenting adalah meraih untung. Agama tidak boleh lagi mengatur urusan ekonomi manusia. Siapa yang untung besar dan kaya raya, akan dipuja puji, dan dianggap orang sukses. Soal moral atau akhlak, itu urusan dunia. Sepanjang manusia menerimanya, maka kekayaannya tidak dipersoalkan halal dan haramnya.
Dalam bidang seni, yang penting adalah bagaimana menampilkan keindahan. Seni untuk seni (l’art pour l’art). Seni tidak boleh dikaitkan dengan agama, sebab agama dianggap akan membelenggu kreativitas kesenian itu sendiri.
Dalam sains, manusia juga menolak ”keterlibatan agama”. Sains dianggap netral. Fenomena alam semesta dipandang sebagai gejala alam biasa saja. Tidak ada keterlibatan Tuhan. Dan manusia merasa mampu menyelesaikan problematika hidupnya dengan sains dan teknologi.
Inilah zaman modern, zaman berkembangnya sekularisme, liberalisme, humanisme; dimana Tuhan dijadikan manusia dan manusia dituhankan. Karena itu, tidaklah keliru jika dikatakan, bahwa inti semangat ”modernitas” adalah semangat menolak agama dalam berbagai bidang kehidupan.
Masyarakat Barat modern merasa, bahwa selama mereka dikuasai oleh agama, ternyata mereka tidak dapat maju, sehingga agama harus ditolak atau dijadikan masalah pribadi. Seorang cendekiawan Yahudi bernama Leopold Weiss – yang kemudian masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Asad – menulis dalam bukunya, Islam at the Crossroads, bahwa saripati peradaban Barat modern itu sendiri sebenarnya ‘irreligious’. (… so characteristic of modern Western Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to Islam or any other religion, because it is irreligious in its very essence). (Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, (Kuala Lumpur: The Other Press).
Salah satu ilmuwan Muslim terkemuka di abad ini, yakni Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyimpulkan, bahwa pada intinya dalam masyarakat Barat modern, Tuhan telah dimanusiakan dan manusia dijadikan Tuhan. (Man is deified and Deity humanised). Manusia ditempatkan sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Tuhan – maksudnya nilai-nilai agama — dipandang tidak boleh lagi mencampuri urusan kehidupan manusia. (Lihat, Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana Program, 2002).
*****
Jadi, begitulah hakikat peradaban modern yang kini menguasai manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Pengaruhnya begitu dahsyat dalam berbagai bidang kehidupan. Lihat saja, bagaimana parameter-parameter kesuksesan para pelajar dan mahasiswa! Apakah agama dijadikan tolok ukur untuk menilai tinggi rendahnya ranking universitas di negeri kita? Apakah iman, taqwa, dan akhlak mulia dijadikan sebagai parameter menentukan sukses atau tidaknya seorang mahasiswa?
Peradaban yang memuja dunia dan materi secara berlebihan ini pada akhirnya telah menjadikan manusia terjebak ke dalam kubangan krisis multidimensi. Karena itulah, para pelajar dan para santri harus dibekali pemahaman tentang bahaya sekulerisme sedini mungkin. Semoga Allah SWT menyelamatkan iman kita dan iman keluarga kita semua. Amin.