News

Perkembangan Hukum Wakaf Di Indonesia

Pernah Anda mendengar nama Badan Wakaf Indonesia, disingkat BWI? Apakah badan ini lembaga negara? Badan Wakaf Indonesia adalah salah satu lembaga sampiran negara yang dibentuk atas perintah Undang-Undang. Badan ini memang independen dalam melaksanakan tugasnya, tetapi biaya operasionalnya dibantu Pemerintah. Anggotanya, maksimal 30 orang, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk pertama kalinya, BWI dibentuk berdasarkan Keppres No. 75 Tahun 2007

 

Pada November 2017, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres No. 74/M Tahun 2017, berisi pengangkatan 27 orang anggota Badan Wakaf Indonesia. Salah satunya advokat Ahmad Wirawan Adnan. Anggota yang lain adalah Mohammad Nuh (mantan Menteri Pendidikan), Slamet Riyanto, Nur Syam, Muhammadiyah Amin, M. Fuad Nasar, E. Syibli Syarjaya, Muhammad Luthfi, Jurist Efrida Robbyantono, Iwan Agustiawan Fuad, Siti Soraya Devi Zaeni, Rachmat Ari Kusumanto, Imam Teguh Saptono, A. Muhajir, Abdul Muta’ali, Atabik Luthfi, Diba Anggraini Aris, Fahruroji, Hendri Tanjung, Imam Nur Aziz, Zakaria Anshar, Mochammad Sukron, Nurul Huda, Nur Syamsuddin Buchori, Sarmidi Husna, Susono Yusuf, dan Yuli Yasin. Pengangkatan anggota Badan Wakaf ini semakin mengukuhkan pengakuan negara terhadap salah satu lembaga yang dikenal dalam Islam.

 

Sesuai ketentuan, mereka akan mengakhiri masa jabatan pada November tahun ini. Presiden Joko Widodo punya kewenangan untuk mengangkat anggota Badan Wakaf Indonesia yang baru. Pilihan pada orang yang akan bertugas di badan ini sangat penting karena tugasnya yang sangat sentral dalam peningkatan produktivitas harta wakaf. Sesuai UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, badan ini bukan saja berwenang membina orang yang mengelola harta wakaf (lazim disebut nazhir), tetapi juga memberikan izin perubahan peruntukan dan status harta wakaf.

 

Mendorong peningkatan produktivitas harta wakaf melalui nazhir merupakan salah satu tugas berat BWI. Jika nazhir tidak mampu melaksanakan tugasnya, BWI punya wewenang memberhentikannya. Itu pula sebabnya, dalam diskursus hukum wakaf dalam beberapa tahun terakhir, profesionalisme nazhir sering diangkat.

 

Kehadiran BWI merupakan salah satu fase penting dalam perkembangan hukum wakaf di Indonesia. Suhrawari K. Lubis dan Farid Wajdi, dalam buku Hukum Wakaf Tunai (2016), membagi perkembangan hukum wakaf di Indonesia secara sederhana, yakni periode sebelum kemerdekaan, dan periode sesudah kemerdekaan

 

Wakaf sudah lama dikenal, jauh sebelum Indonesia merdeka. Para penganut Islam mengenal dan mempraktikkan wakaf untuk beragam kepentingan semisal penyediaan lahan pekuburan, pendirian sekolah berbasis Islam, dan lokasi pembangunan masjid. Mewakafkan harta dipandang sebagai salah satu ibadah kepada Allah. Ketika Belanda datang ke Indonesia, praktik wakaf tidak dilarang. Tetapi ada beberapa kebijakan yang diterbitkan. Pertama, Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 31 Januari 1905 tetang Toezich op den Bouw van Muhammadaansche Bedehuizen. Beleid ini tidak melarang wakaf untuk kepentingan keagamaan.

Kedua, Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Januari 1931 tentang Toezich van Regering op Muhammadaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten, en Wakafs. Dalam edaran ini, wakaf mulai diatur. Demi tertib administrasi, Belanda menetapkan izin dari Bupati. Bupati menentukan apakah harta wakaf dilaksanakan sesuai apa yang diinginkan pewakaf (wakif). Kalau bupati sudah memberikan izin, maka wakaf itu harus didaftarkan ke Priesterrrad (kemudian diubah menjadi penghulurecht). Pendaftaran itu selanjutnya disampaikan kepada Asisten Wedana, dan dijadikan sebagai bahan laporan ke Landrente (Kantor Pertanahan).

 

Ketiga, tiga tahun kemudian, melalui Surat Edaran tanggal 24 Desember 1934, Sekretaris Gubernemen menegaskan kembali edaran sebelumnya. Ditegaskan bahwa kalau terjadi sengketa mengenai harta wakaf, bupati dapat menyelesaikannya. Keempat, Surat Edaran yang keluar setahun kemudian, 27 Mei 1935, kembali menegaskan pelaksanaan wakaf harus dilakukan dengan pendaftaran.

 

Meskipun ada beberapa beleid yang dikeluarkan, tidak banyak kontribusi untuk pengembangan wakaf karena beleid yang dikeluarkan tidak spesifik mengenai wakaf. Dengan kata lain, belum ada regulasi yang secara detil mengatur bagaimana ikrar wakaf. jenis-jenis harta yang dapat diwakafkan, dan mekanisme penyelesaian sengketa wakaf. Menariknya, penyebutan ‘wakaf’ telah dipakai untuk menghindari perampasan harta oleh Belanda. Cerita mengenai ini dapat dibaca dalam putusan Mahkamah Agung No. 85K/AG/2012, berkaitan dengan apakah tanah warisan keturunan Arab di Bandung dikategorikan sebagai wakaf atau bukan

 

Pasca Kemerdekaan

 

Setelah Indonesia merdeka, sesuai Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, ketentuan yang lama masih berlaku hingga terbitnya peraturan yang menggantikan. Seiring dengan pembentukan pemerintahan, Kementerian Agama diberi wewenang mengurus ‘ibadah sosial’, termasuk wakaf. Beleid pertama yang agak detil mengenai wakaf adalah Surat Edaran Kementerian Agama No. 5/D/1956 tentang prosedur wakaf tanah. Surat Edaran ini menyebutkan bahwa ketentuan wakaf yang diterbitkan di era Belanda belum memberikan kepastian hukum. Peraturan mengenai pendaftaran ini harta wakaf ini diperkuat lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

 

Terbitnya PP ini tak lepas dari pengakuan atas wakaf dalam UU No. 5 Tahun 1960, yang lebih dikenal sebagai UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Pasal 49 UUPA mengatur (1) hak milik tanah benda-benda keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi; (2) Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai; dan (3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. PP yang kemudian diterbitkan adalah PP No. 28 Tahun 1977.

 

Dalam perkembangannya, terutama sebagai pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, ada dua Kementerian yang berwenang mengurusi tanah wakaf, yakni Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Agama mengurusi masalah aspek agama dari wakaf, sedangkan Kementerian Dalam NegeriKementerian Agama mengurusi masalah aspek agama dari wakaf, sedangkan Kementerian Dalam Negeri lebih pada pendaftaran tanah wakaf.

 

Satu hal yang dapat disimpulkan dari peraturan-peraturan yang diterbitkan sebelum lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 sangat fokus pada wakaf berupa tanah. Perhatian mulai berubah pada 2001 ketika dibentuk Direktorat Zakat dan Wakaf di Kementerian Agama. Kajian-kajian perbandingan yang dilakukan pun menunjukkan pentingnya mengelola wakaf agar lebih produktif. Wakaf bukan semata-mata fungsi ibadan kepada Allah, tetapi juga fungsi sosial untuk kesejahteraan ummat.

 

Malahan, dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 18 April lalu, berkembangkan diskursus pemanfaatan harta wakaf untuk membantu korban pandemi Covid-19. Salah satu yang tampak nyata adalah potensi penggunaan rumah sakit hasil wakaf.

 

 

 

Mengatasi Masalah

 

Pemanfaatan harta wakaf untuk kesejahteraan ummat sudah lama diusung, antara lain oleh Guru Besar Fakultas Hukum UI, Uswatun Hasanah. Semasa masih hidup, ia menaruh perhatian besar pada persoalan wakaf. Pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar, 22 April 2009, Uswatun menyinggung tiga persoalan utama yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan memberdayakan ekonomi ummat

 

Pertama, masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf. Pada umumnya masyarakat belum memahami dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat maupun maksud disyariatkannya wakaf. Akibatnya, selama ini peruntukan wakaf masih sangat terbatas. Kedua, masalah pengelolaan dan manajemen wakaf. Masih banyak harta wakaf yang terlantar, dibiarkan bertahun-tahun tidak produktif. Beberapa di antaranya justru berakhir dengan sengketa karena ditelantarkan dalam jangka waktu yang lama. Wakaf tidak dikelola produktif. Ketiga, masalah benda yang diwakafkan dan nazhir. Masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah. Untungnya UU No. 41 Tahun 2004 membuka ruang yang lebar untuk wakaf harta non-tanah. Berkaitan dengan nazhir, profesionalisme menjadi kunci penting agar wakaf produktif dapat dikelola dan memberikan manfaat baik bagi wakif dan keturunannya maupun bagi kesejahteraan ummat.

 

Satu persatu solusi atas permasalahan itu sebenarnya sudah ditemukan. Pekerjaan rumah terbesar sekarang adalah memanfaatkan harta wakaf agar produktif. Potensinya sangat menjanjikan. Anggota BWI, Iwan Agustiawan Fuad, memprediksi, potensinya bisa mencapai 147 triliun rupiah per tahun. Inilah yang menjadi tantangan bagi BWI. Kini, yang dapat diwakafkan sudah bukan hanya harta tak bergerak seperti tanah. Pasal 16 ayat (3) UU No. 41 Tahun 2004 sudah membuka ruang wakaf uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa.

 

Pemerintah sendiri sudah berusaha memperkuat pijakan hukum pengaturan wakaf. Terakhir, Presiden Joko Widodo menerbitkan PP No. 25 Tahun 2018 yang mengubah beberapa ketentuan PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. PP yang diterbitkan di era Jokowi itu antara lain mengatur izin perubahan status harta wakaf, penguatan BWI hingga ke daerah, dan mendorong profesionalisme nazhir.

 

Seperti tertulis dalam konsideransnya, perubahan kebijakan ini dikeluarkan Presiden Jokowi untuk ‘meningkatkan pengamanan, efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan harta benda wakaf’.

 

Sumber : hukumonline.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.