News

SANTRI-SANTRI SMA MENDOBRAK TRADISI MEMBERI SOLUSI

 

 

Selama dua hari (21-22 Februari 2021) saya mengikuti presentasi makalah 22 santri PRISTAC Angkatan ketiga. PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization), adalah Pesantren Pemikiran dan Peradaban Islam tingkat SMA di Pesantren at-Taqwa Depok.

 

Selama dua hari itu masing-masing santri harus tampil menyajikan makalahnya di hadapan pembimbing, guru, dan pimpinan Pesantren. Selain saya, ada Dr. Muhammad Ardiansyah, yang disertasi doktornya sudah diterbitkan dengan judul “Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi”.

 

Penguji lainnya: Dr. Suidat (penulis buku “Sejarah Nasional untuk Pelajar”), Ahda Abid al-Ghifari (penulis buku “Bunga Rampai Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia”), Muhammad Kholid (penulis buku Islam Menjawab Tantangan Pemikiran Kontemporer), Nuim Hidayat, (penulis beberapa buku), Megawati M.Pd, pembimbing santri, dan Dina Farhana (guru sejarah).

 

Karena itulah, presentasi makalah para santri itu memang mirip “Ujian Disertasi”. Para santri diberi waktu 10 menit untuk presentasi dengan infokus, lalu satu persatu para penguji diminta tanggapan dan penilaiannya. Mereka diberi masukan tentang seputar isi makalah dan teknik penyampaian presentasi.

 

Selama dua hari itu dipresentasikan sebanyak 22 makalah. Berikut nama santri dan topik makalahnya: (1) Raihan Dzikri Hakim (Tafsir Ayat Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani), (2) -Muhammad Nabil Abdurrahman (Pendidikan Integral Mohammad Natsir Solusi bagi Pendidikan Nasional), (3) Nuswatul Adibah (Pendidikan Indonesia Era Revolusi Industri 4.0 dalam Pandangan Islam), (4) Muhammad Abdurrahman Assajad (Keteladanan Dakwah Hamka), (5) Nailufar A. Albary (Peran PERSIS dalam Pendidikan Islam di Indonesia), (6) Athifa Fauziah Rahmah (Novel Dilan dalam Timbangan Adab), (7) Umar ar-Rantisi (Pemikiran Ibn Khaldun tentang Ilmu dan Guru), (8) Faisal Nabil Purnomo (Model Pendidikan Muhammad al-Fatih), (9) Vaisal Rahmat Hidayat (Islamisasi dan Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia), (10) Shofiyah Hafizhah Irvan (Orientalis dan Sejarah Islam), (11) Yasmin Khoirunnisa (Rohana Kudus dan Perjuangannya), (12) Alima Pia Rasyida (Kiprah Pesantren dalam Perubahan Sosio-Politik di Masa Kerajaan Islam), (13) Ali Sina Albasyiri (Wacana Islam Liberal di Medsos: Kajian Kritis), (14) Muhamad Irfan Hakim (Konsep Agama Menurut HM Rasjidi), (15) Aditama Prima Mahadika (Pemikiran Pancasila Kasman Singodimedjo), (16) Faiz Abdurrahman (Keteladanan Kepemimpinan Umar bin Khattab), (17) Aufa Azizah (Peran Harun al-Rasyid dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan), (18) Umar Thoriq Ramadhan (Pengaruh Zionisme di Masa Sultan Abdul Hamid II dan Keruntuhan Turki Utsmani), (19) Syuhda Fakhrun Nisa (Kiprah Perempuan dalam Peradaban Islam), (20) Azzahra Azka Salsabila (Keluarga dalam Perspektif Feminisme dan Islam), (21) Habiba Zahra (LGBT dalam Perspektif Feminisme dan Islam), Ghaitsa Sahira Putri (Feminisme: Dari Problem Kristen Barat hingga Dekonstruksi Syari’ah)

 

*****

 

Menyimak judul-judul dan isi makalah para santri yang rata-rata berumur 16 tahun itu, tampak bahwa mereka sudah dibiasakan berpikir tentang masalah umat Islam dan bangsa Indonesia. Mereka dilatih berpikir serius dan ditanamkan tanggung jawab sebagai seorang muslim, sekaligus warga negara Indonesia yang baik.

 

Tentu saja kami memaklumi berbagai keragaman, kekurangan dan kelemahan para santri dalam menulis makalah ilmiah. Ada yang memiliki kemampuan menulis sudah cukup baik. Ada yang masih kurang. Para guru memaklumi hal itu. Tetapi, sedini mungkin, mereka sudah ditanamkan sikap kejujuran dalam menulis dan semangat tidak mudah menyerah.

 

Sesuai tradisi dua Angkatan sebelumnya, para santri PRISTAC harus mempresentasikan makalahnya di beberapa SMA dan juga di International Islamic University Malaysia (IIUM). Tetapi, karena Pandemi Covid-19, para santri Angkatan ketiga ini akan mempresentasikan makalahnya secara daring (online).

 

Sejak didirikan, tahun 2016, PRISTAC berupaya menetapkan konsep Pendidikan Islam, seoptimal mungkin. Berangkat dari pemikiran, bahwa para santri atau pelajar tingkat SMA itu sudah dewasa. Mereka sudah akil-baligh; sudah mukallaf. Mereka bukan anak-anak lagi. Karena itu, mereka harus dididik sebagai orang dewasa, yang siap bertanggung jawab terhadap pemikiran dan perbuatannya.

 

Karena itulah, di PRISTAC, mereka banyak dilatih memahami dan menjawab soal-soal kehidupan; bukan hanya dilatih menjawab soal-soal ujian. Para santri senantiasa diingatkan bahwa mereka adalah pelanjut perjuangan para Nabi dan para ulama di Nusantara, seperti Syekh Abdus Shomad al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani, Raja Ali Haji, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Mohammad Natsir, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan sebagainya.

 

Bahkan, sebelum diluncurkan, konsep pendidikan di PRISTAC beberapa kali kami konsultasi dengan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Direktur pertama PRISTAC adalah Dr. Alwi Alatas, yang kini mengajar di IIUM. Kini, Direktur PRISTAC masih dirangkap oleh Mudir Pesantren at-Taqwa Depok, yaitu Dr. Muhammad Ardiansyah.

 

Sesuai model Pendidikan Islam, para santri didahulukan proses penanaman adab mereka, sebelum meraih ilmu yang tinggi. Setiap hari mereka dibiasakan untuk melaksanakan berbagai ibadah harian: shalat berjamaah di masjid, berzikir, membaca dan menghafal al-Quran, mengaji aneka kitab dan pelajaran, juga berlatih bela diri.

 

Kini, para santri itu telah memasuki era disrupsi, ditandai dengan melimpahnya informasi. Mereka akrab dengan media sosial. Di era seperti ini yang perlu lebih ditekankan adalah “sikap pembelajar”; bukan hanya kemampuan teknis tertentu. Mereka harus dididik untuk cinta ilmu dan beradab dalam belajar agar meraih ilmu yang bermanfaat.

 

Penguatan adab, penguasaan pemikiran Islam, dan kemampuan menulis itu akan lebih ditingkatkan lagi di jenjang Pendidikan Tinggi di Pesantren At-Taqwa Depok, yaitu ATCO (At-Taqwa College). Di sini para santri sudah menjadi mahasantri. Mereka harus mengambil sekitar 40 mata kuliah tentang pemikiran dan peradaban Islam.

 

Jadi, para santri PRISTAC memang dididik untuk mendobrak tradisi Pendidikan yang mengutamakan mengejar kesuksesan materi. Mereka terutama dididik untuk menjadi orang baik (good man), orang yang bermanfaat. Yakni, insan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Itu hanya mungkin tercapai jika mereka beradab dalam mencari ilmu. Yakni, memiliki niat yang ikhlas serta beradab terhadap guru dan ilmu. Wallahu A’lam bish-shawab.

Ditulis oleh : Dr. Adian Husaini

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.