News

SISWA SMA SUDAH DEWASA, JANGAN DIPAKSA MENJADI ANAK-ANAK

Hari Senin (15/2/2021), saya menghadiri undangan dari sebuah yayasan pendidikan di Jawa Tengah untuk menyampaikan paparan tentang konsep pendidikan Islam ideal, khususnya untuk tingkat SMA. Secara umum saya sampaikan, bahwa yang pertama kali perlu ditentukan adalah tujuan pendidikan, lalu kurikulum untuk mencapai tujuan tersebut.

 

Yang pertama kali perlu dicatat, bahwa pendidikan tingkat SMA adalah Pendidikan untuk orang dewasa. Anak-anak SMA biasanya berkisar usia sekitar 15-18 tahun. Dalam konsep Pendidikan Islam, itu artinya mereka sudah masuk kategori usia “dewasa”, karena sudah akil-baligh.

 

Para siswa SMA itu sudah mukallaf. Artinya, mereka sudah mendapatkan beban pelaksanaan syariah. Mereka sudah bertanggung jawab terhadap keimanan dan amal perbuatan mereka sendiri. Maka, kewajiban orang tua dan guru adalah mendidik para siswa SMA, agar mereka mampu mandiri sebagai orang dewasa. Ini yang utama.

 

Sepatutnya, pendidikan pada tingkat SD dan SMP, telah menyiapkan anak-anak itu menjadi orang dewasa. Lulus SMP, mereka sudah dewasa. Maka, imannya sudah harus benar; ibadahnya benar; mengajinya benar; begitu juga adab dan akhlaknya harus baik. Inilah tanggung jawab pendidikan yang utama; yakni menanamkan adab dan meraih ilmu yang fardhu ‘ain. Ilmu-ilmu lainnya bisa ditambahkan sesuai dengan kemampuan dan keperluan praktis.

 

Biasanya, dalam dunia Pendidikan pada umumnya, usia 15-18 tahun belum dianggap dewasa. Mereka disebut remaja (adolensence). Ketentuan konsep remaja itu tidak didasarkan pada ilmu wahyu (revealed knowledge), tetapi berdasarkan penelitian empiris yang sangat tergantung kepada kondisi kejiwaan objek penelitian. Sedangkan kondisi kejiwaan objek penelitian itu sendiri, ditentukan oleh proses pendidikan yang diterimanya. Jika objek yang diteliti adalah komunitas anak-anak yang belum matang jiwanya, maka hasil yang diraih pun akan menyimpulkan ciri-ciri anak bingung. Sebaliknya, jika yang diteliti adalah anak-anak muda yang sudah mantap iman dan pemikirannya, tentu hasil penelitiannya akan menghasilkan ciri-ciri anak yang berbeda. Ilmu empiris (empirical knowledge) seperti ini, tidak bisa mengalahkan konsep ilmu wahyu yang sudah baku.

 

Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar r.a. disebutkan, bahwa Rasulullah saw memanggil Abdullah bin Umar untuk hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Uhud. Ketika itu usia Abdullah 14 tahun (qamariyah). Dan Rasul tidak mengijinkannya ikut berperang. Kemudian Rasulullah saw kembali memanggil Abdullah hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Khandaq. Usia Abdullah bin Umar ketika itu 15 tahun. Rasulullah saw lalu mengijinkan Abdullah berperang.” Nafi’ berkata, “Aku datang kepada Umar bin Abdul Aziz yang merupakan Khalifah pada waktu itu dan menyampaikan riwayat tersebut. Khalifah berkata, “Usia ini (15 tahun) adalah batas antara anak-anak dan dewasa.” Dan beliau perintahkan kepada para gubernur untuk memberikan tunjangan kepada siapa saja yang telah mencapai usia 15 tahun.” (HR Bukhari).

 

Jadi, berdasarkan pada hadits Nabi saw tersebut, dan juga berbagai fakta sejarah pendidikan, bisa dipahami, bahwa usia 15 tahun adalah usia dewasa. Jangan sampai dalam masa usia 15 tahun, para siswa tidak disiapkan jiwa dan raganya agar benar-benar menjadi manusia dewasa yang sejati. Rasulullah saw telah memberikan teladan, bagaimana mendidik anak-anak umur belasan tahun menjadi matang di usia yang sangat muda.

 

Kisah yang masyhur menyebutkan, bahwa Usamah bin Zaid, diangkat oleh Nabi saw menjadi Panglima Perang di usia 18 tahun. Dalam sebuah peperangan melawan Romawi, Usamah memimpin pasukan yang di dalamnya ada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., Umar bin Khathab r.a., dan lain-lain. Usamah mulai diijinkan ikut perang pada usia 15 tahun.

 

Dr. Erma Pawitasari, dalam sebuah makalahnya berjudul “Pendidikan Khusus Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Islam”, mengungkap hasil penelitian Frances E. Jensen, seorang ahli neurologi, yang menemukan bahwa pertumbuhan otak perempuan mencapai puncaknya pada usia 12-14 tahun. Sedangkan otak laki-laki mencapai puncak pertumbuhannya pada usia 14-16 tahun.

 

*****

 

Pada hari Ahad (21/2/2021), saya menghadiri presentasi makalah para santri PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization). PRISTAC adalah program pendidikan Pesantren at-Taqwa setingkat SMA. Berikut ini beberapa judul makalah yang dipresentasikan: (1) Pendidikan Integral Mohammad Natsir Solusi bagi Pendidikan Nasional (2) Orientalis dan Sejarah Islam di Indonesia: Bias Pengetahuan dalam Kolonialisme (3) Kemuliaan Perempuan dan Kiprahnya dalam Peradaban Islam (4) Islamisasi Nusantara: Perubahan Sosial Masyarakat Nusantara (5) Konsep Pendidikan Indonesia di Era Revolusi Industri 4.0 dalam Pandangan Islam (6) Wacana Islam Liberal di Medsos: Satu Tinjauan Kritis (7) Keluarga dalam Perspektif Feminis dan Islam. Masih ada 11 judul makalah lain.

 

Para santri PRISTAC itu adalah angkatan ketiga. Seperti dua angkatan sebelumnya, para santri yang rata-rata berumur 16 tahun itu, sepatutnya menyampaikan presentasi makalah di Kuala Lumpur Malaysia dan beberapa SMA lain di Jakarta. Karena kondisi pandemic Covid-19, rihlah ke Malaysia dan Singapura diganti dengan bentuk kegiatan ilmiah lain.

 

Ketika didirikan, PRISTAC dipimpin oleh Dr. Alwi Alatas, doktor ilmu sejarah di International Islamic University Malaysia, penulis produktif, dan praktisi pendidikan yang berpengalaman. Saat ini, PRISTAC dipimpin langsung oleh Dr. Muhammad Ardiansyah. Disamping itu, ada sejumlah guru yang terdiri atas para doktor dan pakar pemikiran dan peradaban Islam yang ikut mengajar.

 

PRISTAC menekankan agar para santri itu menjadi para pejuang di jalan Allah, sebagaimana dicontohkan oleh Luqman al-Hakim: “Wahai Anakku, dirikanlah shalat, dan berjuanglah menegakkan kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu…” (QS Luqman: 17).

 

Karena bukan anak-anak lagi, maka para santri PRISTAC dididik dengan pemikiran-pemikiran yang serius dan dilatih untuk memahami masalah umat serta memberikan solusinya. Mereka bukan hanya dilatih untuk menjawab soal-soal ujian, tetapi juga dilatih menjawab soal-soal kehidupan.

 

Tujuan utamanya adalah agar mereka menjadi insan yang mandiri dan siap bertanggung jawab terhadap pemikiran serta perbuatan mereka sendiri. Mereka harus memiliki adab dan akhlak yang baik, iman yang kokoh, dan siap menjawab tantangan pemikiran kontemporer. Dengan adab dan ilmu yang memadai, maka insyaAllah mereka siap untuk memasuki bangku kuliah formal atau terjun langsung ke tengah masyarakat.

 

Inilah tanggung jawab utama para orang tua dan guru dalam mendidik para siswa setingkat SMA. Wallahu A’lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh : Dr. Adian Husaini

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.