Hal yang banyak saya dan teman teman saya sesama psikolog di YKBH temukan adalah karena ayah juga umumnya dulu mengalami atau jadi korban dari pengasuhan yang kurang lebih sama.
Saya sering mengatakan bahwa “Parenting is all about wiring!”. Bagaimana kita bersikap dan bertindak terhadap anak, umumnya tak bisa dilepaskan dari pengalaman masa lalu yang kita terima setiap saat sehingga membentuk kebiasaan dan meninggalkan kenangan yang sangat kuat dalam ingatan kita. Kita mengulangnya : OTOMATIS dan TIDAK SENGAJA !
Hal ini kemudian saya minta di konfirmasi secara ilmiah pada guru kami Asep Khaerul Gani, sebagai apa yang disebut Inner Child seseorang. Sangat lazim, ketika seseorang bereaksi secara otomatis atau tak sengaja, maka umumnya reaksi itu bukan
ah merupakan hasil dari tingkah laku yang ditunjukkannya sebagai orang dewasa, tetapi “anak kecil” dalam dirinya yang sangat kuat pengaruhnya itu.
Maka kita temukanlah berbagai jenis ayah seperti berikut :
Ayah yang diam tak banyak bicara atau kalaupun bicara seperlunya saja: menegur, mengingatkan, memerintah, menyalahkan, meremehkan, mencap, mengancam, membandingkan, menasihati atau marah.
Ayah yang dingin tak pandai menunjukkan perasaan apalagi kehangatan.
Ayah yang suka memukul, menampar, menggunakan ikat pinggang, bahkan sapu lidi.
Seorang anak SMP yang kecanduan games pernah menunjukkan pada saya : ”Lihat nek, nih bekasnya sambil memperlihatkan betis dan lengannya yang barut merah bekas sapu lidi. Sapu lidi ada dimana mana , sehingga mudah diakses kalau ayah marah: ada dibawah, ditangga dan diatas lemari dilantai dua. Ayahnya bukan orang biasa, beliau pejabat tinggi Negara!
Kalaulah dia masih SD, mungkin saya sudah memeluknya, dia sudah baligh, yang bisa saya lakukan adalah menepuk nepuk jemarinya sebagai tanda empati.. Hancur rasanya hati saya!.
Ayah yang dalam hal apa saja cenderung bergantung atau menyalahkan ibu, bahkan ada yang berkata :
“Tuh lihat anakmu!.”
“Bagaimana kamu membesarkannya? Dikeluargaku tidak ada anak seperti itu!” ( maksud loh?!)
Terakhir adalah ayah yang super duper sibuk sehingga benar benar tak punya waktu dengan anak anaknya .
Tak sempat tersentuh olehya berbagai aspek perkembangan anaknya, jangankan sesekali mengambil raport atau menghadiri aktivitas anak di sekolah atau dilingkungannya, bicara baik baik 10 menit saja dalam seminggu tak sempat dilakukannya.
Banyak jenis ayah lain, yang akan memperpanjang artikel ini untuk diuraikan.
Tentu saja tidak semua orang terjebak dalam keadaan seperti itu, karena banyak ayah ayah mendapatkan pengasuhan yang benar dan baik, didasarkan pada ajaran agama yang kuat dan modelling yang benar jua.
Selain itu ada –ayah ayah– yang bertekad sekuat mungkin atau “sumpah mati” berusaha mengalahkan pengalaman dan kebiasaan buruknya jangan sampai terulang pada anaknya.
Ditulis oleh Elly Risman Musa, Psikolog