News

Belajar Jadi Suami Cerdas Emosional dari Umar bin Khattab r.a

Culture Shock. Gegar budaya. Kiranya itu yang kaum Muhajirin alami begitu sampai ke Madinah. Selepas terusir dari rumah mereka di Mekah, mereka mendapat rumah baru. Saudara baru. Pada saat yang bersamaan, menghadapi kebiasaan baru. Setidaknya dalam hal berumah tangga.
Dalam kebiasaan Quraisy, suami sangat mendominasi istri. Saat berkonflik, tidak ada ruang bagi istri untuk mendebat suami. Namun setelah hijrah, para istri Muhajirin melihat dinamika rumah tangga kaum Anshar. Di penduduk asli Madinah, justru sebaliknya yang terjadi. Istri mendominasi suami.
Para istri ini belajar cara berumah tangga yang “baru.” Jika di Mekah, mereka diam saja saat berkonflik dengan suaminya. Di Madinah ini mereka mengutarakan ketidaksetujuan pada suami mereka. Para wanita Muhajirin mempunyai ruang untuk mengekspresikan pendapat mereka.
Kagetlah para suami Muhajirin. Istri mereka yang dulunya menurut begitu saja. Mulai berani berargumen di kala konflik. Bahkan sampai menjadi pertengkaran yang memanas. Hal ini mencengangkan para suami, termasuk lelaki Quraisy yang paling disegani, Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu.
Umar dan istrinya berselisih paham. Sampai akhirnya terjadi pertengkaran yang cukup hebat. Umar tidak terima istrinya mendebatnya. Baginya, istri berargumen dengan suaminya adalah perbuatan sia-sia. Tampak sekali dari pengakuan Umar berikut ini:
“Kami kaum Quraisy memiliki kebiasaan untuk berkuasa terhadap kaum wanita (para istri) dan ketika kami datang ke tempat orang-orang Anshar, (kami terkejut) karena para itri mereka mendominasi para laki-laki. Akhirnya para istri kami meniru perilaku para wanita Anshar.”
Istrinya kesal atas tanggapan Umar yang mengecilkan upayanya, sampai berkata, “Mengapa Engkau tidak setuju? Demi Allah! Sungguh, para istri Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam kadang-kadang marah terhadap beliau Shallallahu alayhi wa Sallam dari siang hingga malam hari.”
Makin terkejutlah Umar. Bukan hanya istrinya yang terbawa pengaruh budaya wanita Anshar. Bahkan istri-istri orang yang paling ia cintai  juga sampai berani mendebat suami mereka, Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam. Termasuk di antaranya anaknya sendiri. Hafshah.
Namun Umar tidak begitu saja percaya kata-kata istrinya. Segera saja beliau datang menemui putrinya, ummul mukminin Hafshah bin Umar radhiyallahu anhuma.
“Wahai Hafshah! Apakah salah seorang dari kalian (para istri) pernah marah kepada Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam dari siang hingga malam?” tanya Umar.
“Benar,” jawab putrinya.
Umar segera balas, “Sungguh engkau telah rugi dan berbuat hal yang sia-sia. Tidakkah kalian takut murka Allah Azza wa Jalla karena kemarahan Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam, kemudian kamu menjadi celaka?”
Umar tidak terima. Sejak kecil, beliau melihat kaum wanita diam saja saat berselisih dengan suami. Berarti ini termasuk ibunya sendiri, yang diam saja saat berkonflik dengan ayahnya. Ada ekspektasi tersendiri saat beliau berumah tangga. Tidak terima istrinya mendebatnya. Bahkan dalam rumah tangga putrinya pun, beliau tidak terima putrinya mendebat suaminya. Terlebih lagi suami putrinya ini seorang nabi.
Namun bukan Umar namanya kalau tidak merefleksikan cara berpikirnya. Pikirannya mewarisi kebiasaan kaum Quraisy, istri tidak boleh menunjukkan ketidaksetujuan pada suami. Namun justru Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam membolehkannya.
Bahkan istri-istri beliau diperbolehkan marah seharian.
Pelajaran ini beliau terapkan. Sampai akhirnya saat beliau menjadi amirul mukminin, dinamika konflik antara dirinya dan istrinya benar-benar berubah.
Seorang pria ingin mengadukan perilaku istrinya kepada Umar. Luar biasa sekali kepemimpinan beliau. Sangat efisien dan efektif. Semua jengkal tanah kekuasaan umat Islam terkelola dengan baik, namun beliau masih sanggup membuka pintu rumahnya untuk rakyatnya. Bahkan bagi yang ingin mencari solusi bagi urusan rumah tangga sekali pun.
Pria ini tidak tahan atas perilaku istrinya, yang berani mendebatnya.
ia ingin meminta fatwa dari Umar bin Khatthab, pria yang keilmuannya luar biasa, sekaligus menjadi amirul mukminin. Ia ingin mengadukan istrinya, berharap pengaduan ini membuat istrinya menyadari “kesalahannya.”
Tak disangka. Saat sampai di depan pintu rumah Umar, ia mendengar kegaduhan. Istrinya Umar mengeluarkan kalimat-kalimat keras, yang jelas ditujukan pada Umar. Terlebih lagi, Umar mendengarkan semua pendapat istrinya itu, tanpa membalasnya dengan kata-kata keras lagi.
Ia pun berpikir, “Jika demikian keadaan amirul mukminin Umar bin Khatthab radhiyallahu anhu, siapakah aku?” Jika pemimpin umat ini saja diam saat dimarahi istri, mungkin memang begitulah seharusnya adab suami saat menghadapi kemarahan istri.
Ia pun memutuskan untuk segera pulang. Pada saat itu pula, konflik Umar dan istrinya berakhir. Tepat saat sang lelaki baru beranjak, Umar keluar dari rumahnya.
“Apa keperluanmu, saudaraku?” sapa sang kepala negara yang baru saja diomeli istrinya.
“Ya Amirum Mukminin, aku ingin mengadukan beraninya istriku padaku. Ternyata istrimu pun seperti itu.”
Umar menjelaskan, “Sungguh, aku sabar terhadap istriku karena istriku mempunyai hak terhadapku. Dialah pemasak makananku, pemanggang rotiku, pencuci pakaianku, penyusu anakku. Padahal, itu bukanlah kewajibannya dan hatiku tenang karenanya, tidak tergoda oleh yang haram.”
“Wahai amirul mukminin, begitu pula istriku.”
Di akhir pembicaraan mereka, Umar menasihati, “Sabarlah menghadapinya, Saudaraku. Itu hanya sebentar saja.”
Dalam buku The Seven Principles for Making Marriages Work, psikolog John M. Gottman memaparkan hasil penelitiannya terhadap ribuan pernikahan. Hasilnya ia bisa membedakan antara pasangan pasangan yang rentan bercerai.
Gottman menyebutkan salah satu faktor penentu dari keberhasilan pernikahan adalah suami yang cerdas emosional. Ciri dari suami yang cerdas emosional adalah mau dan mampu mendengarkan istrinya. Bukan hanya mendengarkan yang istrinya katakan, suami cerdas emosional mendengarkan yang istrinya rasakan.
Secara umum, suami cerdas emosional menerima pengaruh istrinya dalam rumah tangga. Ia tetap memimpin rumah tangga. Ia tetap sosok yang mengambil keputusan. Namun ia menghormati perasaan istrinya. Ia menerima seluruh perasaan istrinya. Tidak menekan perasaan yang tidak terasa menyenangkan.
Contoh riilnya dapat dilihat dari Umar bin Khatthab, yang mendengarkan semua keluh kesah istrinya. Tidak menyerang balik. Tidak mencari-cari kesalahan istri. Walau itu terasa berat baginya, hingga ia menekankan perlunya bersabar.
Dampak suami cerdas emosional terhadap keutuhan rumah tangga sangatlah besar. Gottman menyebutkan begitu suami tidak mau menerima pengaruh istri, kemungkinan sebuah rumah tangga hancur dari dalam mencapai angka 81%.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menjadi suami cerdas emosional?  Kita bisa mendapatkan petunjuk dari kata-kata Umar bin Khatthab. Beliau mampu bersabar dengan kemarahan istrinya karena ia menyadari hal-hal yang sudah istrinya lakukan untuknya. Dalam satu kata, kuncinya adalah syukur.
Umar mensyukuri hal-hal yang sudah istrinya lakukan untuknya: memasak, mencuci, menyusui anak-anaknya. Umar menyadari semua itu bukan kewajiban istrinya. Namun istrinya tetap melakukannya. Akhirnya hatinya tenang. Terjauhkan dari yang haram. Rasa syukur ini memampukan Umar bersabar atas perilaku istri yang dulunya tidak ia sukai: memarahi suami.
Amal yang Umar lakukan ini mengingatkan saya pada sebuah hadits. Rasulullah Shallallahu alayhi wa Sallam bersabda, “Seorang mukmin tidak boleh membenci wanita mukminah (istrinya), jika dia tidak menyukai darinya salah satu perilakunya, dia menyukai darinya perilakunya yang lain.” (HR Ahmad)
Ditulis Oleh: Mohammad Ferandy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *