Pengetahuan Umum

BENARKAH MASALAH UTAMA KITA ADALAH KEKUASAAN

Oleh: Dr. Adian Husaini

 

Beberapa kali saya menerima kiriman pesan – baik perorangan atau dalam group media sosial — tentang perlunya umat Islam bisa memegang kekuasaan negara. Dengan itu, maka umat Islam akan bisa berbuat banyak untuk melakukan berbagai kebaikan dan memberantas kemunkaran atau kemaksiyatan.

Apakah benar, bahwa kekuasaan itu sangat penting dan menjadi kunci kebangkitan umat? Jawabnya: tentu saja hal itu ada benarnya. Tetapi, juga dengan catatan. Bahwa yang memegang kekuasaan itu haruslah orang-orang yang amanah dan ‘capable’ (profesional).

 

Kekuasaan ibarat pisau bermata dua. Ia bisa membangun dan bisa juga merusak. Semakin besar kekuasaan yang dipegang seseorang, maka semakin besar pula daya bangun dan daya rusaknya. Tergantung, siapa yang memegang kekuasaan.

 

Seorang khalifah/raja/kaisar yang baik, dengan kekuasaan besar, akan mudah melakukan berbagai kebaikan. Sebab, kekuasaan berada di satu tangan, dan tidak terbagi-bagi. Karena itu, sistem kekaisaran, kerajaan, atau kekhalifahan, akan dengan cepat melakukan perbaikan, jika pemimpinnya itu mumpuni. Tetapi, hal sebaliknya juga bisa terjadi. Jika raja/khalifah/kaisar itu “tidak bermutu”, maka akan cepat pula kehancuran negaranya.

 

Karena itu, upaya banyak kalangan umat Islam untuk berjuang di jalur politik praktis – dengan membentuk partai-partai politik – adalah satu bidang perjuangan yang penting. Jelas, tujuan perjuangan di bidang politik memang untuk meraih kekuasaan, agar dapat digunakan untuk menegakkan kebaikan dan kebenaran, dan meruntuhkan kemunkaran.

Akan tetapi, perlu direnungkan masak-masak, bahwa kunci utama kesuksesan dalam semua bidang perjuangan – politik, ekonomi, pendidikan, media, budaya, dan sebagainya – adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Orang-orang yang terjun dalam perjuangan di bidang politik harus benar-benar memiliki kualitas iman, akhlak, ilmu dan ketrampilan berpolitik yang tinggi. Sebab, tantangan dan godaan dalam bidang politik ini sangatlah besar.

 

Jadi, sebelum membentuk partai politik, maka hal yang paling utama disiapkan adalah SDM-SDM-nya. Orang-orang yang mendirikan dan aktif di partai politik Islam haruslah orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh dan akhlak yang mulia. Misalnya, mereka harus terjauh dari sikap cinta dunia, termasuk cinta jabatan. Sebab, cinta dunia adalah pangkal segala kerusakan (Hubbud-dunya ra’su kulli khathi’atin).

 

*****

 

Jadi, itulah akar masalah kita. Yakni, kualitas SDM yang terjun dalam berbagai bidang perjuangan, baik bidang politik atau yang lainnya. Bikin partai politik, problem utamanya adalah kualitas SDM; bikin sekolah atau kampus Islam, masalah utamanya juga kualitas SDM-nya; bikin Rumah Sakit Islam, problem utamanya pun terletak pada kualitas SDM; bikin media Islam juga berhadapan dengan masalah SDM.

 

Nah, jika bicara tentang kualitas SDM, maka ini adalah ranah pendidikan! Maka, lagi-lagi, inilah yang pernah diingatkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, bahwa akar masalah umat Islam adalah “loss of adab” (hilang adab). Jika adab hilang dari penguasa pada tingkatan apa saja – mulai keluarga, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, dan seterusnya – maka kekuasaan yang dipegangnya tidak akan dapat digunakan untuk kebaikan secara optimal. Bahkan, bisa jadi, penguasa itu akan membuat kebijakan yang merusak.

 

Jadi, “hilang adab” alias tidak beradab, itulah kata kunci dari akar seluruh krisis yang melanda umat dan dunia Islam zaman kini. Karena itu, menurut Prof. al-Attas, jika umat Islam ingin bangkit dan terbebas dari berbagai krisis yang membelit mereka, pahamilah adab dan didiklah umat ini agar mereka menjadi manusia-manusia yang beradab.

 

Manusia-manusia beradab (insan adaby) inilah sosok-sosok manusia yang unggul yang memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpi-pemimpin yang sebenarnya (true leaders). Mereka akan mampu menjadi pemimpin (imam) di bidang politik, pendidikan, ekonomi, media, sosial, kesehatan, dan sebagainya.

Inilah yang juga sudah diingatkan banyak ulama, termasuk KH Hasyim Asy’ari, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya, ?dabul ?lim wal-Muta’allim, bahwa: “Tauhid mewajibkan wujudnya iman; barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.”

 

Dalam bukunya, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Pulau Pinang: USM, 2007), Prof. al-Attas menjelaskan, bahwa hakekat pendidikan adalah penyerapan adab ke dalam diri seseorang. Sedangkan adab adalah perwujudan keadilan sebagaimana dipancarkan oleh hikmah.”

Ringkasnya, krisis yang melanda dan masih mencengkeram umat Islam adalah akibat muslim hilang adab. Adab hilang karena ilmu yang salah, sehingga hikmah tiada didapatnya. Solusinya adalah pendidikan yang benar! Pendidikan yang menekankan “penyerapan adab ke dalam diri”. Itulah proses membentuk manusia beradab.

 

Jadi, tidak perlu mempertentangankan antara perjuangan di bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Semua bidang perjuangan itu harus dipimpin oleh orang-orang yang beradab. Dengan adab itulah, seorang akan terhindar dari perilaku zalim. Yakni, ia terhindar dari melakukan atau menempatkan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

 

Seoang penguasa yang beradab tidak akan membiarkan berlakunya sistem pendidikan yang meluluskan anak-anak muslim yang sudah akil baligh, tetapi tidak bisa shalat dan membaca al-Quran dengan benar. Rektor kampus yang beradab tidak akan meluluskan mahasiswanya yang bejat akhlaknya, meskipun sangat tinggi nilai-nilai ujiannya.

 

Penguasa yang beradab tidak akan mau menggunakan anggaran negaranya untuk kemewahan hidupnya, sementara banyak rakyatnya yang dicekam kelaparan dan kesusahan hidup. Pun, ia tidak akan bangga menggunakan anggaran negara untuk mendukung kemaksiatan.

Jadi, umat Islam memang memerlukan kekuasaan untuk bisa menegakkan kebenaran dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Bukan sekedar berkuasa untuk berbangga-bangga dan ingin dihormati di sana-sini.

 

Ini penting dipikirkan, dan terus direnungkan! Meraih kekuasaan itu hal penting. Tetapi, sekali lagi, kekuasaan akan berdampak baik jika dipegang orang-orang yang baik pula. Karena itu, menjalankan proses pendidikan untuk membentuk manusia-manusia unggul (manusia beradab/insan adaby), adalah hal yang lebih penting lagi!

 

Manusia-manusia terbaik (khairun naas) itulah yang pernah dihasilkan oleh Pendidikan Rasulullah saw. Manusia-manusia terbaik itu tak akan muncul lagi, jika konsep pendidikan dalam Islam tak dipahami dan tidak diterapkan.

 

 

===

 

Asep Sobari Lc – direktur eksekutif INSISTS — termasuk salah satu ilmuwan Muslim yang kini menekuni kajian tentang sejarah peradaban Islam. Ia menyelesaikan studinya di Universitas Islam Madinah tahun 1999. Buku Haakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin, wa Haakadza ‘Aadat al-Quds karya Dr. Majid Irsan al-Kilani, telah dia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan sebanyak dua kali.

Terbitan pertama diberi judul: Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina. Terbitan kedua diberi judul: Model Kebangkitan Umat Islam.

Ustadz Asep mengaku sangat terkesan dengan buku ini dan juga pemikiran penulisnya. Karena itu ia kemudian menghimpun dan mengkaji hampir semua karya Dr. Majid Irsan al-Kilani, pakar pendidikan Islam yang menulis disertasi doktornya tentang Pemikiran Pendidikan Ibn Taymiyah.

Berikut ini wawancara dengan Ust. Asep Sobari. Wawancara ini pernah dimuat di Jurnal Islamia-Republika, (10/11/ 2009). Isi wawancara ini sangat penting kita renungkan untuk memahami jatuh bangunnya peradaban Islam.

Tanya: Bagaimana posisi al-Ghazali di Universitas Islam Madinah? Apa betul pemikirannya dijauhi?

Jawab: Tidak ada mata kuliah yang secara khusus membahas al-Ghazali. Tetapi, karena cakupan keilmuannya sangat luas, maka beberapa persoalan tentang Ghazali dibahas di bidang-bidang terpisah. Pengalaman saya, ketika saya menulis tugas paper tahunan tentang Metodologi Dakwah di masa Shalahuddin al-Ayyubi, dosen pembimbing, yaitu Dr. Ghazi al-Muthayri, mengarahkan mahasiswa untuk mengkaji buku Haakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin, wa Haakadza ‘Aadat al-Quds karya Dr. Majid Irsan al-Kilani sebagai rujukan penting.

Tanya: Apa pentingnya buku itu?

Jawab: Setelah membaca, ternyata buku itu membahas fase-fase perubahan kondisi umat Islam di masa Perang Salib, yang dipelopori sejumlah ulama yang berperan langsung terhadap kebangkitan umat Islam waktu. Menariknya, ulama-ulama itu diantaranya adalah Imam al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jilani, Ibnu Qudamah, Ibnu Naja, Qadhi al-Fadhil, dan sebagainya.

Tanya: Apa peran khusus dari al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam ketika itu?

Jawab: Al-Ghazali adalah ulama yang merasakan langsung keterpurukan umat Islam yang kemudian mengakibatkan jatuhnya al-Quds (Jerusalem) ke tangan pasukan Salib tahun 1099. Ketika itu, beliau sebagai rektor Universitas Nidzamiyah di Baghdad dan pemikir terkemuka di zamannya. Jadi, beliau sangat paham kondisi umat dan bagaimana kemudian membangkitkannya.

Tanya: Bukankah al-Ghazali ketika itu malah meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Baghdad dan menjalani kehidupan sebagai seorang sufi? Apa tidak kontradiktif? Biasanya sufi dikenal dengan uzlah dan tidak peduli dengan kehidupan masyarakat?

Jawab: Al-Ghazali mengerti persoalan mendasar umat waktu itu terletak kepada kondisi internal umat Islam. Ada penyakit umat yang harus disembuhkan, sehingga umat bisa bangkit. Penyakit itu ialah merebaknya kerancuan pemikiran dan ketusakan akhlak berupa penyakit cinta dunia. Dua sisi itulah yang menjadi fokus utama langkah-langkah perbaikan (ishlah) yang dilakukan al-Ghazali dan para ulama lainnya. Karena itu, al-Ghazali banyak menulis buku yang mengkritik pemikiran-pemikiran dan aliran-aliran yang menyimpang dari Islam, seperti kritiknya terhadap sejumlah pemikiran filsafat, kebatinan, dan sebagainya. Sedangkan untuk memerangi penyakit hubbud-dunya (cinta dunia) al-Ghazali menulis banyak buku dan juga menjadikan dirinya sebagai model dari perubahan itu.

Tanya: Apa maksudnya al-Ghazali menjadikan dirinya sebagai model perubahan?

Jawab: Al-Ghazali adalah orang yang sangat kaya. Ia disayangi oleh Khalifah dan penguasa. Dia bisa hidup nyaman dengan gajinya. Tetapi, itu semua ditinggalkan. Dia memilih hidup di kampungnya di Thus, Iran, dan berkonsentrasi mengembangkan madrasah yang menjadi model perubahan. Di madrasah inilah al-Ghazali mendidik para santrinya, dengan keilmuan yang tinggi dan akhlak yang sangat mulia, terutama dalam menjalani kehidupan yang zuhud. Strategi al-Ghazali bukan merupakan uzlah dalam arti tidak peduli dengan kondisi masyarakat. Tetapi, al-Ghazali melakukan strategi perubahan yang lebih realistis dan mendasar. Al-Ghazali belajar dari berbagai kegagalan perjuangan militer, politik, dan sebagainya, karena akar persoalannya tidak terpecahkan, yaitu masalah pemikiran dan moral. Strategi ini yang disebut dengan al-insihaab wal-audah. Artinya, menarik diri dari kehidupan ramai, untuk menyiapkan perubahan yang lebih mendasar. Dan ini dilakukan sampai akhir hayatnya.

Tanya: Jadi, sufinya al-Ghazali beda dengan sufi-sufi yang dipahami banyak orang?

Jawab: Ya, jelas berbeda. Al-Ghazali itu seorang yang sangat tinggi ilmunya dalam masalah syariat. Dia pun mengkritik berbagai praktik tasawuf yang menyimpang dari ajaran Islam dan inti dari tasawuf itu sendiri yaitu, tazkiyatun nafs (pensucian jiwa), yang harus dibingkai dalam koridor syariat Islam. Ihya’ Ulumiddin adalah contoh karya yang memadukan antara syariat dengan tasawuf. Dan itulah yang kemudian menjadi tren pendidikan yang berkembang di dunia Islam setelah al-Ghazali dan berhasil melahirkan generasi baru yang berkualitas tinggi dalam ilmu dan akhlaknya. Pengaruh al-Ghazali dalam al-Ghunyah karya Abdul Qadir al-Jilani. Ini menarik, karena al-Ghazali berasal dari Mazhab Syafii sementara Abdul Qadir al-Jilani bermazhab Hanbali. Keharmonisan antar tokoh mazhab sangat penting, karena di masa Perang Salib, umat Islam dilanda perpecahan yang sangat parah.

Tanya: Bagaimana solusi al-Ghazali dalam menjembatani antar-mazhab?

Jawab: Dengan menekankan kepada tradisi keilmuan dan keikhlasan dalam mencari ilmu, Al-Ghazali mampu meredam konflik antar-mazhab. Sebab, ketika itu, kadangkala fanatisme mazhab juga terkait dengan perebutan jabatan di pemerintahan dan masyarakat. Jika satu mazhab berkuasa, maka mazhab lain akan disingkirkan. Bahkan, tidak jarang terjadi benturan fisik antar pengikut mazhab. Ini sangat melemahkan kedudukan umat Islam, sehingga dengan mudah dikalahkan musuh mereka. (Depok, 7 Agustus 2021. Pewawancara: Adian Husaini).

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.