Parenting

Guru Kehidupan Terlama dan Terakhir

Oleh: Kak Eka Wardhana

 

Disadari atau tidak, sebenarnya dalam hidup kita selalu punya seseorang yang jadi alter ego dan cerminan diri. Seseorang yang darinya kita belajar banyak tentang kehidupan. Orang-orang inilah yang bisa disebut guru-guru kehidupan kita.

 

Di saat kecil, kita akan bercermin pada ayah dan bunda kita. Marah kita seperti marahnya mereka. Santun kita seperti santunnya mereka. Salah dan benar kata mereka, itu pula yang kita ikuti. Tapi manusia tak cukup dengan guru kehidupan ini, pencariannya pun berlanjut.

 

Menginjak tahun-tahun bersekolah, kita mulai memiliki banyak guru kehidupan: selain orangtua di rumah, Bapak dan Ibu guru juga jadi guru kehidupan kita. Seringkali yang kita ingat bukan pelajaran yang diajarkan tetapi sikap mereka: bagaimana respon menghadapi murid yang nakal, bagaimana sikap saat mendampingi tim sekolah ke sebuah lomba dan lain-lain. Tetapi sebagai guru kehidupan, para bapak dan ibu guru kita pun cepat berlalu. Usia bertambah dan guru kehidupan berganti.

 

Saat remaja, banyak yang sudah mulai melepaskan diri dari bayangan orangtua dan guru di sekolah. Maka saat itu, kebanyakan kita menjadikan teman sebagai guru kehidupan. Nakal teman kita, nakal pula kita. Shalih teman kita, shalih pula kita jadinya.

 

Benarlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sebuah hadis:

“Pemisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628).

 

Tetapi akhirnya kita akan menemui guru kehidupan terakhir dan terlama: suami/istri.

 

Katakanlah rata-rata orang menikah di usia 25 tahun dan rata-rata wafat di usia 63 tahun, itu artinya 38 tahun kita bersama guru kehidupan terakhir ini. Suami atau istri lah alter ego dan cerminan diri kita sebenarnya. Bersama para istrilah, kaum laki-laki mengalami revolusi tunas, kembang dan berbuah dalam karirnya. Bersama para suamilah, kaum wanita mengalami mekar sampai layunya kecantikan mereka.

 

Buruknya pakaian istri adalah cerminan buruknya pelajaran hidup dari sang suami. Buruknya kelakuan suami di tempat kerja bisa jadi cerminan buruk pula pelajaran hidup yang diberikan istri saat bersama di rumah.

 

Para suami bisa saja mengambil pelajaran hidup dari bosnya, orang yang dia idolakan dalam pekerjaan dan teman-teman. Tetapi guru kehidupan sejati ada di rumah mereka sendiri. Guru yang mengajarkan arti sabar dan indahnya menunda saat keinginan mempunyai kendaraan bagus seolah meledak di ubun-ubun, guru yang mengajarkan cara menahan derita ketika keuangan sedang krisis dan tak ada pekerjaan, guru yang menyentuhkan jemari lembut di kepala saat para suami tertunduk di sisi tempat tidur putranya yang sedang sakit.

 

Saya ingat dongeng dari Norwegia yang saya baca dulu. Judulnya “Peer Gynt”. Dikisahkan Peer Gynt bertualang mengejar mimpinya menjadi orang besar dan meninggalkan istrinya yang bernama Solveig di sebuah rumah kecil yang tenteram di hutan. Selama bertahun-tahun kepergian Peer Gynt, Solveig menanti dengan setia.

 

Setelah bertahun-tahun mengejar karir, Peer Gynt sadar bahwa ia telah tua dan tenaganya habis. Maka ia pun pulang tertatih-tatih ke rumahnya di tengah hutan.

 

“Peer! Oh Peer!” tangis Solveig. “Akhirnya kau pulang.”

 

Setelah puas menangis, Peer membaringkan kepalanya yang beruban di pangkuan Solveig dan bertanya, “Tahukah kau dimana aku berada selama ini?”

 

“Tidak sulit,” jawab Solveig. “Selama ini kau berada di sisiku, di dalam iman, harapan dan kasihku.”

 

Peer Gynt menangis terharu. Di akhir tangis itulah ia meninggal. Tetapi saat menghembuskan napasnya yang terakhir, Peer masih sempat mendengar Solveig berbisik, “Akhirnya petualanganmu berakhir, Peer. Kini kau menyadari suatu kenyataan, bahwa kebahagiaan yang terbesar terletak di rumah, bukan pada pengejaran impian-impian seputar dunia.”

 

Itulah sebabnya Al-Qur’an menamakan akad nikah antara seorang laki-laki dan wanita: Mitsaqan Ghaliza (Perjanjian Agung). Begitu agungnya perjanjian ini sampai tingkatnya hanya satu derajat di bawah perjanjian antara manusia dengan Allah di alam ruh dahulu.

 

Jadi saat ditanya: siapa guru kehidupanmu yang terbaik? Menolehlah mencari pasangan kita dan bilang: “Dialah guru saya yang terbaik, yang terlama dan terakhir….”

 

 

Oleh: Kak Eka Wardhana

 

Dari sekian banyak penemuan modern yang paling kentara membawa perubahan hidup adalah gadget. Sekarang hampir semua orang memiliki gadget seperti kita memiliki baju. Sebenarnya apa sih gadget itu?

 

Gadget adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Inggris, yang artinya perangkat elektronik berukuran kecil yang memiliki fungsi khusus.

 

Dulu, bila kita menggeledah isi saku para pemuda aktivis Islam, pasti kita temukan mushaf Al-Qur’an berukuran kecil. Kini, seperti halnya semua orang, kita akan menemukan juga gadget di saku para pemuda aktivis Islam masa kini. Bahkan mushaf Al-Qur’an kecil sering lagi tidak ditemukan karena dengan Gadget pun kita sudah bisa membaca, bahkan mendengarkan Al-Qur’an. Oh, betapa gadget membuat hidup ini berubah.

 

Karena kini, anak-anak usia SD atau bahkan TK sudah juga berinteraksi dengan gadget, timbul deh pertanyaan: apa ya efek gadget buat mereka? Baik atau buruk sih?

 

Gadget mempunyai banyak sisi positif untuk anak selain fungsi utamanya untuk berkomunikasi atau untuk menunjang pekerjaan, yaitu:

 

1. Menumbuhkan kemampuan berimajinasi.

2. Merangsang kepekaan panca indera, terutama sisi penglihatan, pendengaran dan perabaan.

3. Melatih kognisi (daya pikir).

4. Menumbuhkan kemampuan analisa masalah.

5. Melatih kemampuan matematika.

6. Membuat koordinasi dalam otak menjadi lebih baik.

7. Bisa menumbuhkan rasa percaya diri.

8. Tentu menghasilkan perasaan senang yang efektif untuk belajar.

9. Merangsang kreativitas.

10. Menumbuhkan motivasi untuk menyelesaikan tugas.

 

Semua hal di atas didapat bila gadget digunakan secara proporsional lho. Sayangnya gadget ibarat api: kecil jadi kawan, besar menjadi lawan. Bila gadget digunakan secara berlebihan ia akan menghasilkan efek kecanduan. Inilah yang harus diantisipasi dari sejak mula. Sebab kecanduan lebih sulit disembuhkan daripada sekadar suka.

 

Apa ya yang membuat gadget bisa menimbulkan kecanduan? Ternyata ada satu hal dalam gadget yang bisa membuat penggunanya terbius. Apa itu? Sisi praktisnya? Bukan. Sisi komunikasi dua arahnya? Bukan juga. Jawabannya adalah: unsur kebaruan.

 

Siapa sih yang tidak suka pada hal-hal yang baru? Dalam gadget kita bisa menemukan banyak hal baru: berita baru, game baru atau game yang sama tetapi dengan level kesulitan yang bertambah sehingga menimbulkan tantangan baru, banyak program start up baru yang praktis dan keren serta masih banyak. Waaah, luar biasa….

 

Namun, berbeda dengan Ciptaan Allah, benda buatan manusia selalu punya sisi kelemahan di balik sisi baiknya. Gadget juga termasuk dong. Apa saja kelemahan gadget? Ternyata, bila digunakan berlebihan, gadget bisa berdampak negatif buat anak:

 

1. Anak jadi cepat puas dengan pengetahuannya.

2. Menganggap informasi dari internet adalah final.

3. Teknologi membuat mudah, sehingga berpotensi membuat anak tidak tahan kesulitan.

4. Membuat anak menjalin relasi secara dangkal.

5. Penurunan konsentrasi.

6. Kemampuan menganalisa masalah terpengaruh negatif.

7. Malas menulis dan membaca.

8. Turunnya kemampuan sosialisasi eksternal dan internal.

 

Belum lagi, dari segi kesehatan. Para dokter dari Amerika Serikat dan Kanada menemukan banyak efek negatif gadget. Mereka merekomendasikan agar gadget dijauhkan dari kehidupan anak. Inilah efek gadget buat anak yang mereka temukan:

 

1. Mengganggu pertumbuhan otak.

2. Menghambat pertumbuhan fisik.

3. Membuat obesitas.

4. Menyebabkan gangguan tidur.

5. Menyebabkan gangguan mental.

6. Membuat anak menjadi lebih agresif.

7. Membuat anak jadi pikun digital.

8. Membuat ketergantungan digital.

9. Bahaya efek radiasi yang terus-menerus.

10. Menyebabkan lemah, bahkan putusnya hubungan sel-sel syaraf di otak.

 

Nah, Ayah dan Bunda. Bagaimana kita menyikapinya? Tentu menjaga agar api tetap kecil dan menjadi kawan agar anak banyak mendapat efek positif dan terhindar dari bahaya yang besar. Bila ini terlalu sulit karena Anda sibuk sehingga tak bisa mengawasi atau Anda tak mampu menahan rengekan anak, mampukah Anda menarik gadget dari kehidupan mereka?

Salam Smart Parents!

 

Ditulis oleh : Eka Wardhana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.