Pengetahuan Umum

Indonesia Termasuk Negara Paling Agamis. Benarkah?

Hasil survei oleh Pew Research Center, yang dikeluarkan pada 20 Juli 2020, menunjukkan bahwa Indonesia termasuk diantara negara yang religius (paling agamis) di dunia.

 

Harian The Jakarta Post, menulis berita berjudul: “Indonesia ranks among most religious countries in Pew study.”(https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/30/indonesia-ranks-among-most-religious-countries-in-pew-study.html)

 

Kata penelitian ini, 96 persen responden di Indonesia menyatakan, bahwa “belief in God was necessary to be moral and have good values.” Jadi, katanya, ada 96 persen responden yang menyatakan, bahwa iman kepada Tuhan diperlukan untuk menjadi orang yang baik.

 

Secara umum, hasil survei tersebut tidak berubah banyak dari tahun ke tahun. Rakyat Indonesia dikenal memiliki semangat keagamaan yang tinggi. Karena itulah, kita bisa melihat, dalam berbagai bidang, kini nilai-nilai keagamaan tidak bisa ditinggalkan. Bahkan, di kalangan orang-orang yang menolak campur tangan agama dalam politik dan sebagainya. Kehidupan sehari-hari mereka tidak dapat berpisah dari aneka ritual kemagamaan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Hasil survei itu juga menunjukkan, bahwa program sekularisasi yang selama ini terus digencarkan, tidak maraih hasil yang diharapkan. Bertahun-tahun sebelum Indonesia merdeka, para tokoh bangsa sudah berdiskusi hebat tentang hubungan agama dan negara. Sebagian mengusulkan, agar Indonesia merdeka, memisahkan negara dengan agama. Tapi, usaha ini gagal.

 

A. Hassan, guru Mohammad Natsir, termasuk seorang yang gigih menentang gagasan sekular itu. Begitu juga dengan Mohammad Natsir. Menurut A. Hassan, memudarnya pengaruh Islam di berbagai negara, adalah disebabkan kesalahan penguasa yang tidak mengamalkan dan mengurus Islam sebagaimana semestinya yang diajarkan oleh Islam. Bahkan, tak jarang, agama hanya dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi, menurut A. Hassan, ini bukan berarti Islam tidak sanggup mengurus negara.

 

Soal penyalahgunaan Islam oleh negara, menurut A. Hassan, hal yang sama bisa terjadi pada paham yang lain, seperti paham kebangsaan yang dianut oleh banyak kaum nasionalis sekular. Jika suatu negara atau kerajaan telah menjadikan Islam sebagai alat kekuasaan, sehingga ia menjadi penghambat kemajuan dan hilang pengaruhnya, maka yang bersalah bukanlah ajaran Islamnya. Penyalahguaan itu bisa juga terjadi pada paham lain. Penganut paham kebangsaan sekular pun bisa menjadikan pahamnya sebagai alat untuk memecah belah dan merah keuntungan diri.

 

“Kalau raja-raja, orang zalim dan orang-orang bertangan besi menggunakan agama Islam sebagai alat penghukum – katakanlah dengan cara yang zalim – maka dapatkan ini berarti bahwa agama itu tidak mampu menjadi hukum negara, atau memang merupakan hukumyang tidak adil? Tidakkah pembaca perhatikan, berapa banyak raja-raja, orang-orang zalim dan orang-orang tangan besi menggunakan hukum negara bikinan manusia untuk memeras, menindas, dan menganiaya rakyat? Lihatlah Perancis sebelum revolusi besar, lihatlah Rusia sebelum dan sesudah komunis. Bacalah pula sejarah di lain-lain negara, niscaya pembaca akan menemukan, betapa panggung sejarah penuh dengan kekejaman raja-raja dengan menggunakan hukum buatan manusia sendiri. Bahkan lihatlah negara-negara yang mengatakan dirinya sebagai negara maju, betapa mudah mereka itu membuat hukum yang sewaktu-waktu diperlukan untuk menindas rakyat!” begitu argumen A. Hassan. (Lebih jauh tentang sekularisme di Indonesia, lihat buku: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).

 

*****

 

Setiap usaha untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sekular, senantiasa mendapatkan perlawanan yang serius dari umat Islam. Begitu juga suara-suara dan usaha untuk menyingkirkan syariat Islam dari kehidupan umat Islam pun senantiasa ditentang para tokoh Islam. Sebab, bagi umat Islam, syariat Islam merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, mulai urusan pribadim keluarga, sampai urusan kemasyarakatan dan kenegaraan.

 

Karena itu, tidaklah mengherankan, di tengah-tengah serangan terhadap syariat Islam, justru Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah menterinya, justru aktif berkampanye tentang pelaksanaan syariat Islam. Mereka menyerukan umat Islam untuk berwakaf dan ikut membesarkan program Ekonomi Syariah. Bahkan, ketua Masyarakat Ekonomi Syariah, saat ini adalah seorang Menteri Presiden Joko Widodo.

 

Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah, dalam sidang Badan Usaha Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, tahun 1945, pernah memberikan bantahan terhadap suara-suara yang meragukan syariat Islam. Kata Ki Bagus Hadikusumo: “…tuan-tuan harus ingat juga apa yang menyebabkan hukum Islam tak dapat berjalan dengan sempurna di Indonesia. Sebabnya tiada lain ialah karena tipu-muslihat curang yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang senantiasa berusaha henda melenyapkan agama Islam dari jajahannya oleh karena tahu bahwa selama bangsa Indonesia tetap berpegang teguh kepada agama Islam, tentu tidak menguntungkan dia. Oleh karena itu hukum-hukum Islam yang berlaku di Indonesia (sedikit) demi sedikit hendak dihapuskan dan diganti dengan hukum lain yang dikehendakinya.”

 

Suara Ki Bagus tersebut memang wajar. Islam bukan sekedar keimanan. Tapi, eksistensi Islam juga ditentukan dari hidup dan matinya syariat Islam. Banyak yang salah paham terhadap syariat Islam. Menyangka, bahwa syariat Islam hanya terkait dengan urusan hukum pidana. Sebagian kalangan bahkan mencoba menggunakan Pancasila sebagai landasan untuk menolak dan menggusur syariat Islam. Di masa-masa awal Orde Baru, kaum sekular pernah mengajukan satu RUU Perkawinan pada 30 Agustus 1973. Pasal 10 ayat (2) RUU Perkawinan itu menyebutkan: ”Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.”

 

Karena mendapatkan perlawanan keras dari umat Islam, RUU Perkawinan sekular itupun akhirnya dibatalkan. Saat ini, para tokoh Islam sedang menyuarakan aspirasinya untuk meminta pemerintah merevisi SKB Tiga Menteri yang mengatur urusan pakaian seragam sekolah. SKB itu antara lain melarang sekolah untuk mengimbau – apalagi memaksa – para murid untuk berpakaian menurut agama tertentu.

 

SKB ini dipandang aneh, sebab para guru agama Islam di sekolah itu, pasti mengajak para muridnya untuk mengamalkan ajaran agama, termasuk cara berpakaian yang benar menurut ajaran Islam. Jika para guru dilarang untuk mengajak dan mengimbau murid-muridnya untuk berpakaian yang baik menurut ajaran agama saja dilarang, maka jelas SKB itu bertentangan dengan tujuan Pendidikan Nasional seperti ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 31 (3). Wallahu A’lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh : Dr. Adian Husaini

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.