Ibu yang bahagia akan melahirkan anak yang cerdas. Aku percaya dengan statement itu. Namun, saat ini definisi bahagia menjadi sedikit sempit. Bahagia diartikan hanya sebatas ibu cukup gizi dan isi dompet. Nyatanya, bahagia itu luas. Ada satu kisah menginspirasi tentang ibu bahagia yang melahirkan seorang anak yang diakui kecerdasannya sepanjang masa.
Tujuh ratus tahun yang lalu di Gaza, Palestina lahir seorang anak laki-laki. Dia telah menjadi yatim ketika berusia dua tahun. Sang ibu memiliki impian anak semata wayangnya harus menjadi seorang ulama besar yang menyinari umat. Dalam kesibukannya mencari nafkah, beliau selalu pergi menggendong anaknya dari satu majelis ilmu ke majelis lainnya, dengan tujuan agar si anak mendengarkan dan belajar tentang ilmu agama secara langsung. Hingga suatu hari, sang ibu mendengar bahwa pusat ilmu pengetahuan adanya di kota Mekkah. Maka sejak itu, dia memutuskan untuk pindah dari Gaza ke Mekkah.
Jarak dari Gaza ke Mekkah sekitar 1.200 km, jika di Indonesia itu layaknya berjalan dari Banda Aceh ke Kota Padang. Dalam keadaan miskin dan sendirian, beliau berjalan kaki menggendong anaknya dengan satu tujuan, anak saya harus menimba ilmu di kota Mekkah. Setelah tiba di sana, beliau tawaf dan memohon kepada Allah agar anaknya bisa menjadi seorang ulama besar. Sesaat setelah itu, ditemuinya semua ulama besar di kota Mekkah, dan dititipkan anaknya untuk belajar pada mereka.
Ketika anaknya remaja, si ibu mendengar bahwa pusat ilmu pengetahuan yang sedang mengalami kemajuan saat itu adalah Baghdad. Tak perlu menunggu lama, beliau menyuruh anaknya untuk pergi menuntut ilmu ke Baghdad dan dilarang pulang hingga menjadi ulama besar. Kini, anak tersebut dikenal orang sebagai salah satu ulama fikih yang terkenal karena kecerdasannya, anak itu adalah Imam Syafi’i.
Ibu Imam Syafi’i bukanlah orang yang kaya, tapi mampu membuat anaknya menjadi hebat. Ada beberapa hal yang bisa saya ambil pelajaran dari cara pengasuhan ibunda Imam Syafi’i, yaitu:
1. Doa
Ibu Imam Syafi’i selalu mendoakan anaknya untuk menjadi ulama yang besar dalam setiap kesempatan. Pastilah kita tahu bahwa doa ibu merupakan salah satu doa yang mustajab. Ketika mendoakan anak, tak usah tanggung-tanggung. Ibunya Imam Syafi’i meskipun dalam keadaan miskin, tapi percaya bahwa anaknya bisa menjadi seorang ulama besar.
2. Mencari dan memilih lembaga pendidikan serta guru terbaik
Ibu Imam Syafi’i rela menggendong anaknya sejak kecil dari satu majelis ke majelis lain, bahkan rela berjalan dari Palestina ke Mekkah dengan tujuan agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang unggul. Saat ini lembaga pendidikan di sekitar kita sudah bertebaran. Sebagai ibu, kita harus memiliki gambaran besar terlebih dahulu anak ingin dicetak menjadi apa dan siapa, setelah itu kita harus mau menyusahkan diri mencari dan memilih lembaga pendidikan terbaik untuk anak. Percaya, deh, belum tentu sekolah mahal itu sekolah terbaik, sehingga teruslah berusaha mencari tahu lembaga pendidikan yang akan dipilih. Selain itu, kalau perlu kita harus tahu latar belakang guru dari anak yang akan mengajar anak. Kadang kita sudah berpikir, sekolah ini bagus berarti gurunya oke. Belum tentu juga. Saya terkadang meminta akun media sosial dari calon guru yang akan mengajar anak atau bertanya kepada orang yang sudah mengenalnya, dari sana kita bisa sedikit mengintip kepribadian guru yang akan mengajar. Selalu ingat ada statement bahwa perkataan guru lebih dituruti anak daripada orangtua. Maka, jangan sampai kita salah pilih guru untuk anak.
3. Semangat tak kenal lelah
Ibu Imam Syafi’i benar-benar patut dicontoh oleh ibu-ibu zaman sekarang. Bahkan semangatnya untuk menjadikan sang anak ulama besar terus dia pupuk hingga Imam Syafi’i tumbuh remaja. Walaupun harus berpisah dengan sang buah hati sekali pun, jika itu untuk menjadikan anaknya hebat maka akan ia lakukan. Semangat akan menular pada orang-orang di sekitar kita.
Ketika kita ingin anak berhasil dalam suatu hal, maka tunjukkanlah semangat kita pada anak, selalu katakan alasan mengapa dia harus bisa mencapai titik itu. Jangan sampai semangat itu malah jomplang, karena anak tak paham dengan apa yang kita perjuangkan.
4. Memberi yang terbaik
Ibu Imam Syafi’i selalu giat bekerja meskipun hanya seorang single parent. Suatu riwayat mengatakan bahwa beliau benar-benar menjaga makanan yang masuk ke dalam perut sang Imam sejak kecil. Hanya yang baik dan halal saja, sehingga beliau rela memeras keringat agar mencukupi hal tersebut.
Wah, ternyata untuk mencetak anak yang hebat, tidak bisa dilakukan dengan cara rebahan dan santai kayak di pantai. Ehehehe.
Hal terbesar yang saya rasakan dari semangat ibu Imam Syafi’i bukan hanya sebuah ambisi, melainkan keikhlasan untuk membuat anaknya besar. Mungkin hal inilah yang membuat Imam Syafi’i juga menjadi pribadi yang unggul karena merasakan ruh keikhlasan dari ibundanya. Hal ini mengajarkan pada saya bahwa untuk menjadi ibu dari anak yang cerdas bukanlah sekedar kita harus bahagia, tapi justru siap bekerja lebih keras dan lebih ikhlas.
Ditulis oleh: Herlin Herliansah
Tulisan ini diikutsertakan dalam blog challenge Indscript Writing ‘Perempuan Menulis Bahagia’