Sobat Pundi, apakah kita tidak boleh merasa cinta kepada anak, istri/suami, harta atau pun kedudukan? Tentu saja boleh. Senang terhadap urusan dunia seperti itu adalah fitrah manusia. Tetapi yang tidak boleh adalah jika kecintaan terhadap itu semua membuat hati kita tertawan olehnya. Kita menjadi lalai terhadap sesuatu yang lain di balik itu, yang pada akhirnya secara tidak sadar kita terjerumus dalam anggapan bahwa kehidupan itu hanyalah ada di dunia ini saja. Al-qur’an dalam surat Ali-imran:14 mengatakan “Di jadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”
Jadi jelaslah, bahwa dunia itu tidak jelek. Hanya saja kecintaan yang berlebihan kepada dunia, itulah yang jelek. Harta kekayaan, kedudukan, istri dan anak itu adalah baik, namun kecintaan yang habis-habisan kepada mereka, itulah yang jelek. Coba saja kita bayangkan, apakah mungkin manusia itu dapat berlaku adil, pemurah dan menyayangi
sesama bila sifat penghambaan terhadap dunia masih kental melekat pada jiwanya? Atau, bagaimana jadinya suatu Negara bila di pimpin oleh orang yang rakus? Apakah mungkin manusia menjadi bahagia bila ia masih menjadi seorang pemuja perut? Bayangkan juga, bagaimana nasib si anak yatim bila ia berada dalam lingkungan orang-orang yang semuanya adalah budak-budak duniawi.
Saudaraku, bila ada orang yang sama sekali tidak mempunyai rasa cinta pada aksesoris dunia ini, maka dia bukanlah berarti telah mencapai tingkat kesempurnaan, tetapi justru dia masih jauh dari kesempurnaan. Dengan demikian semakin jelaslah, bahwa sesuatu yang tercela itu adalah jika kita
mengikatkan diri dengan kesibukan urusan-urusan duniawi semata, sehingga menyebabkan kehidupan akhirat terlupakan. Al-Qashash:77 menegaskan, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”
Dari uraian singkat ini, orang yang baik itu bukanlah berarti ia berlepas tangan atau lemah dalam urusan kehidupan, melainkan ia menjalankan satu prinsip hidup yang mendahulukan keutamaan akhlak di atas keinginan-keinginan materi. Ia cinta pada duniawi, tetapi sama sekali tidak takut bila harus berpisah dengannya. Ia tidak terpengaruh dengan berkurang atau bertambahnya dunia. Baginya dunia itu letaknya di tangan, bukan di hati. Sehingga dengan demikian ia selalu menjadi orang yang merdeka.
Pada akhirnya, nampaknya nanti akan ada dua kelompok manusia. Kelompok manusia yang pertama, yaitu mereka yang pergi meninggalkan dunia ini dalam keadaan diganduli ribuan penghambaan dilehernya. Sedangkan kelompok manusia yang kedua, mereka pergi meninggalkan dunia ini dalam keadaan merdeka. Mereka tidak menjadi hamba
siapapun, kecuali hamba Allah. Mereka meninggalkan dunia ini dalam status
sebagaimana yang diinginkan Allah. Mereka bukan menjadi hamba nafsu, hamba amarah, hamba harta, ataupun hamba kedudukan. Mudah-mudahan perenungan ini dapat mengingatkan kita, betapa pentingnya menjaga keseimbangan duniawi dan ukhrawi.
Sumber : Embun Hati ditulis oleh Agus Cahyana