News

Pendidikan Anak Sejak Dini oleh Orang Tua Shalih

Syaikh Al-‘Utsaimin memberikan nasihat bagi para pendidik melalui karya beliau”Zaadud Da’iyah Ilallah”, agar sebelum mengajarkan Islam selalu memperhatikan:

 

1. Ilmu tentang materi yang akan diajarkan.

 

2. Kondisi orang yang akan diajar.

 

3. Metode paling tepat dalam menyampaikan pengajaran.

 

Oleh sebab itu, selayaknya para orang tua atau pendidik ketika mulai mentarbiyah anak, mempersiapkan ketiga bekal berikut:

 

1. Menguasai ilmu tentang segala hal yang akan diajarkan kepada anak beserta segala kebutuhannya.

 

Seorang pendidik harus memiliki semangat belajar yang tinggi agar memiliki bekal yang cukup untuk mengajar. Seseorang yang bijak pernah berkata,

“Seseorang tidak memiliki sesuatu, tidak akan memberikan sesuatu tersebut kepada yang lain)”

 

Teko yang kosong, bagaimana mungkin dapat menuangkan minuman bergizi pada sebuah gelas? Mustahil. Mengajar tanpa ilmu merupakan suatu musibah dan kejahilan, mudharatnya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Alih-alih memahamkan dan menuntun anak didik menjadi pribadi yang Salih, bisa jadi yang diperoleh justru kesesatan dan kebodohan. Wal’iyadzubillah.

 

2. Mengenali karakteristik dan kondisi anak, diantaranya: usia, daya tangkap, gaya belajar, kondisi psikis dan fisik anak.

 

Seorang pendidik ketika ingin mengajar, harus berusaha mengenali dengan baik karakter dan kondisi anak didiknya. Ketika pendidik telah memahami kondisi dan kebutuhan masing-masing anak, maka pendidik dapat menentukan kebutuhan dan metode belajar yang tepat.

 

Pada hakikatnya, dalam diri seorang anak telah dibekali dengan karakter berikut:

 

1. Karakter keimanan, setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah yang lurus. Mereka amat mudah diarahkan pada kebaikan.

 

2. Karakter belajar, setiap anak memiliki dasar karakter sebagai pembelajar tangguh. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, pantang menyerah, kreatif, selalu menyukai tantangan dan hal baru.

 

3. Karakter bakat, setiap anak adalah bintang, mereka unik dan memiliki potensi spesifik yang akan bermanfaat sesuai perannya masing-masing.

 

Selain bekal di atas, pada fase perkembangannya, anak juga memiliki karakteristik:

 

1. Usia anak merupakan tahap emas keimanan. Fitrah keimanannya masih lurus dan murni, belum banyak terkontaminasi dunia luar, baik syubhat maupun syahwat.

 

2. Memiliki daya imajinasi dan abstraksi yang baik. Hal ini membuat anak lebih mudah dikenali dengan konsep-konsep tentang keimanan, misalnya: Allah, rasul, surga, neraka, kebaikan dan keburukan.

 

3. Otak kanan lebih dominan dibanding otak kiri. Otak kanan akan optimal bekerja jika pembelajaran berorientasi pada proses, learning to know atau learning to learn. Artinya, belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar.

 

4. Memiliki egosentris yang kuat. Anak merasa dirinya lah yang paling penting, paling hebat dan pusat perhatian semua orang di sekelilingnya.

 

5. Memiliki energi yang banyak, sehingga butuh menyalurkannya dalam berbagai aktivitas fisik.

 

 

———————————————————–

Sumber : Diringkas dari Buku “Mendidik Anak Dengan Game Islami”

Karangan: Abu Raihan & Ummu Raihan

Penerbit : GAZZAMEDIA

*_________________*

 

Mendidik anak menjadi anak shalih dan shalihah itu dilakukan sejak dini.

 

Buku pendidikan anak yang paling lengkap, hampir pasti dimulai dari fase sebelum menikah. Fase memilih pasangan yang tepat, shalih-shalihah untuk melahirkan anak-anak yang juga shalih dan shalihah

 

Bahkan ada ungkapan yang selalu saya sampaikan, “Tafaqqahu qabla an tazawwaju.” (Kamu harus menjadi ahli fikih sebelum menikah). Mengapa? Karena menikah itu ibadah yang paling panjang dan lama. Maka, memilih pasangan yang tepat untuk mencetak generasi yang shalih dan shalihah adalah bagian dari ikhtiar dini untuk mendidik anak menjadi generasi rabbani

 

Bayangkan, kalau ibu dan bapaknya kepribadiannya rusak, moralnya amburadul, akan jadi apa anak yang lahir dari keluarga begini? Maka, Islam perintahkan memilih pasangan yang tepat sebelum bicara tentang pendidikan anak

 

Dari bapak dan ibu yang shalih dan faqih, lahir anak-anak yang shalih dan faqih. Sejak belum lahir sudah diperdengarkan tartil al-Qur’an. Ketika lahir, telinga kanan diadzankan, telinga kiri diiqamatkan. Kemudian ditahniq oleh orang alim yang shalih, agar keshalihan dan kealimannya menular. Usia 7 hari diaqiqahi, diberi nama yang baik, dikhitan dan diasuh dengan baik

 

Usia 0-6 tahun adalah Golden Age (usia emas). Di usia ini, mereka mulai diajari dan dididik agar belajar dan menghapal al-Qur’an. Mereka juga diajari bahasa ibu dan bahasa Arab, dengan makhraj dan lahjah yang benar. Hasilnya, sebelum usia 7 tahun sudah hapal al-Qur’an dan menguasai bahasanya

 

Saat usia 7 tahun, Nabi perintahkan untuk diajari shalat. Sebenarnya bukan hanya perintah shalat, tapi semua perintah untuk terikat dengan hukum Islam, seperti menutup aurat, dan kewajjban serta larangan yang lain. Jika melanggar, belum boleh dipukul, tetapi boleh ditakut-takuti, agar tidak melakukan pelanggaran

 

Di usia 10 tahun, jika melanggar, mereka baru boleh dipukul. Artinya, meski belum baligh, keterikatan pada hukum ditanamkan dengan kuat pada anak. Inilah yang menjadikan mereka disiplin dalam ketaatan

 

Semua dimulai dari rumah, dari kedua orang tua yang shalih.

 

Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.