News

Sehat dan Bahagia dengan Bersedekah

Maafkanlah kesalahan orang yang murah hati (dermawan). Sesungguhnya Allah menuntun tangannya jika dia terpeleset (jatuh). Seorang pemurah hati dekat kepada Allah, dekat kepada manusia, dan dekat kepada surga. Seorang yang bodoh tapi murah hati (dermawan) lebih disukai Allah daripada seorang alim (tekun beribadah) tetapi kikir.” (HR. Thabrani)

Apa yang paling dihindari manusia? Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Namun, semuanya bermuara pada satu hal, yaitu takut kehilangan. Setiap orang memiliki ketakutan hilangnya segala sesuatu yang dianggap miliknya. Karena takut dipecat, seorang karyawan bekerja dengan tekun dan taat aturan. Karena takut jatuh miskin, seseorang mempertahankan hartanya agar tidak menyusut, dan sebagainya.

Inilah yang disebut respons defensif yang bersifat antisipatif, yang setiap manusia memiliki kecenderungan mempertahankan hak miliknya tersebut. Apalagi jika yang dimilikinya itu dapat mendatangkan aneka kenyamanan dan kesenangan, semacam harta, jabatan, ketenaran, dan sejenisnya.

Apabila ketakutan ini tidak dikelola dengan baik, amigdala di otak akan memperkuat dan menyebarkannyasebagai pondasi dan sikap mental yang kurang baik. Seseorang cenderung egois, agresif, dan mudah curiga. Alur kognisi atau sirkuit pemecahan masalah pun akan menampilkan sifat tergesa-gesa. Sifat utama yang dikedepankan adalah bagaimana agar keinginan dirinya dapat terpenuhi secara cepat dan mudah. Pertimbangan jangka panjangpun tidak masuk dalam proses pemikiran.

***

Allah Mahatahu kalau manusia memiliki sifat demikian. Maka, Dia pun memberi mekanisme yang sangat cerdas untuk mengendalikannya, yaitu melalui konsep berbagi dalam bentuk zakat, infak, maupun sedekah. Peran zakat, infak, dan sedekah pada dasarnya adalah “mengingatkan” kembali bahwa setiap karunia yang didapatkan adalah amanah atau titipan yang bersifat sementara. Kemampuan dan kemauan kita untuk melewati “mental barrier” alias hambatan mental kepemilikan dan takut kehilangan akan membawa dampak yang sangat luar biasa. Salah satunya adalah terbukanya kesadaran yang mampu menjernihkan pikiran, sehingga kita menjadi gembira dan bahagia karena terlepas dari impitan “ketakutan” rasa kehilangan. Kesadaran tersebut, secara neurologi, diproses oleh beberapa lokasi penting di otak seperti nukleus acumben, girus singulata, dan nukleus raphe.

Sesungguhnya ketakutan yang dipelihara itu memblokir jalur-jalur cerdas di dalam otak. Dengan melaksanakan zakat, infak, dan sedekah, gerendel serta blokir-blokir mental itu akan terbuka dan jalur berpikir cerdas siap menghadirkan berbagai solusi berbagai permasalahan. Dengan zakat, infak, dan sedekah kinerja kognisi dan fungsi luhur di kulit otak dan otak bagian depan mendapat peluang teroptimasi fungsi dan perannya. Dengan teroptimasinya fungsi cerdas otak, akan ada banyak permasalahan yang bisa kita tempatkan secara proporsional dan dapat kita selesaikan dengan lebih mudah.

Apabila terjadi akumulasi pengurangan tekanan psikologis karena munculnya kemampuan menyelesaikan permasalahan secara strategis, kenaikan kadar kortisol yang menyertai tingginya tekanan bisa direduksi. Karena sifat kortisol menekan sistem imun, turun atau terkendalinya kadar kortisol berdampak positif pada kinerja sistem imun. Tubuh semakin kuat dalam menghadapi aneka zat penyebab penyakit (patogen). Dengan demikian, zakat, infak, dan sedekah tidak sekadar melipatgandakan rezeki, menyehatkan jiwa, tetapi juga mampu menyehatkan badan dan mempertajam pikiran.

Sejumlah penelitian membuktikan hal tersebut. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Dunn, seorang pakar psikologi dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada. Dia melakukan jajak pendapat kepada 16 karyawan di sebuah perusahaan di Boston sebelum dan sesudah mereka mendapatkan bonus dengan beragam besaran. Dunn dan rekannya pun mengumpulkan data tentang gaji, pengeluaran, dan tingkat kebahagiaan dari 632 orang di seantero Amerika Serikat. Kesimpulannya sungguh menarik. Dalam kedua kelompok orang tersebut, kebahagiaan ternyata ada hubungannya dengan jumlah uang yang dikeluarkan untuk orang lain daripada jumlah absolut bonus atau gaji.

***

Itulah mengapa, Jonah Lehler dalam bukunya How We Decided (2010:241) mengatakan bersikap dermawan(altruistik) itu terasa enak. Mengapa demikian? Sesungguhnya, Allah Ta’ala merancang otak manusia sedemikian rupa sehingga yang namanya berbagi, memberi, dan bersikap dermawan itu menyenangkan. Bersikap baik kepada orang lain, dengan demikian, akan membuat kita lebih aman dan nyaman daripada berlaku kikir.

Penelitian membuktikan kalau otak orang-orang yang memilih menyedekahkan uangnya,ternyata lebih aktif dibandingkan otak orang-orang yang sekadar menabung atau membelanjakan uangnya untuk kepentingan sendiri. Orang yang memilih menyedekahkan uangnya terlihat lebih senang dan lebih puas atas kedermawanan yang dilakukannya. Kebahagiaan mereka saat memberi pun jauh lebih tinggi daripada saat menerima uang. Dengan demikian, dari sudut pandang neurosains terbukti sudah bahwa memberi itu lebih baik daripada menerima; tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Dalam perspektif yang lebih luas, memberi pun dapat menyambungkan hubungan yang terputus, mengeratkan tali persaudaraan, mengikis permusuhan, melahirkan kasih sayang, dan bisa menyembuhkan aneka macam penyakit fisik dan psikologis. Itulah mengapa, Rasulullah saw senantiasa menganjurkan kita agar menjadi orang-orang dermawan dan menghindarkan diri dari sifat kikir lagi tamak. ”Kemurahan hati adalah dari (harta) kemurahan hati dan pemberian Allah. Maka, bermurah hatilah niscaya Allah bermurah hati kepadamu.” (HR Thabrani)(Tauhid Nur Azhar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.