Ibadah, Pengetahuan Umum

Kemiskinan dan Bagaimana Zakat Mengatasinya

 

Kata kemiskinan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab miskin. Asal katanya adalah “sakana” yang artinya diam atau tenang. Adapun fakir dari kata faqr yang berarti tulang punggung. Faqir bermakna beratnya beban yang dipukul sehingga mematahkan tulang punggung.

 

Ulama fiqh berbeda pendapat mengenai definisi miskin ini. Beberapa di antaranya menurut Jalal al-Din bin Muhammad miskin adalah orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Al-Maraghi menyebutkan miskin sebagai orang yang tidak mempunyai suatu apapun sehingga kekurangan makanan dan pakaian.

 

Pada tahun 2010, UNDP Bank Dunia dan Oxford Poverty & Human Development Initiative menerbitkan Indeks Kemiskinan Multidimensi. Ada tiga dimensi kemiskinan yang ditetapkan: (1)Dimensi kesehatan, diukur dari tingkat nutrisi dan kematian anak, (2)Dimensi pendidikan, diukur dari lama studi dan jumlah anak yang bersekolah, (3)Dimensi standar hidup, diukur dari pengeluaran harian, aset, dan sebagainya.

 

Islam tidak memposisikan kemiskinan sebagai sesuatu yang menghinakan ataupun membanggakan. Kemiskinan dan juga kekayaan sama di mata Islam adalah sebagai suatu ujian. Islam tidak melihat kebaikan dari banyak sedikitnya harta, tapi bagaimana harta diperoleh, disimpan, dan digunakan.

 

Walaupun tak disebutkan secara eksplisit batasan kemiskinan dalam Al-Quran, satu yang pasti bahwa umat muslim diperintahkan membantu kehidupan orang fakir dan miskin.

 

Islam mengajarkan agar membantu seseorang keluar dari kemiskinan dengan cara-cara yang sesuai syariat. Membantu orang miskin menjadi tanggung jawab seluruh umat muslim. Mulai dari individu hingga negara memiliki tanggung jawab atas kemiskinan. Ada banyak ayat dan hadits yang menjelaskan kewajiban ini. Sehingga muncul salah satunya kewajiban zakat.

 

Zakat adalah pengeluaran harta yang sifatnya wajib apabila telah memenuhi syarat dan ukuran yang ditentukan. Zakat sering salah dipahami hanya sebatas mengeluarkan kewajiban harta. Padahal zakat tidak semestinya diukur dari dibayar tidaknya zakat saja, tapi seberapa besar manfaat atas zakat yang dibayarkan.

 

Jika melihat penjelasan asnaf yang delapan pada surat At-Taubah ayat 60, kita memahami satu hal yang sama, mereka yang berhak atas harta zakat adalah orang yang tergolong lemah dan tidak mampu. Ini artinya, ada kewajiban jangka panjang yang disyariatkan dalam zakat.

 

Zakat tidak begitu saja didistribusikan lalu kemiskinan pun hilang. Zakat bukan sarana ajaib yang menghilangkan permasalahan kemiskinan dalam satu malam. Namun, zakat adalah tindakan jangka panjang yang harus diorganisir dan didukung secara terus-menerus untuk membuatnya mampu menjadi kekuatan menekan kemiskinan.

 

Zakat mengatasi kemiskinan dengan adanya keberlanjutan. Zakat yang sifatnya kontinu, memberi penekanan bahwa zakat tidak bertujuan untuk membantu sementara orang miskin hidup dalam kemiskinannya, tapi membantu orang miskin meninggalkan kemiskinannya selamanya.

 

Satu tujuan utama yang harusnya ditekankan dalam pendistribusian dan pendayagunaan zakat adalah: bagaimana mustahiq yang kini hanya bisa menerima bisa berganti status menjadi muzakki yang memberi. Dalam artian, ia tidak lagi miskin. Sehingga zakat berhasil menjadi pengentas kemiskinan.

 

Maka dari itu perencanaan terperinci dan detail untuk program pengentasan kemiskinan lewat zakat adalah suatu keharusan. Zakat butuh keberlanjutan, ketekunan, dan ketelatenan untuk membuatnya menjadi senjata yang mampu mengangkat kemiskinan.

 

Kekuatan zakat adalah kekuatan umat. Maka, kekuatan mendorong kemiskinan esensinya adalah bagaimana seluruh umat sungguh-sungguh bergerak bersama dalam visi dan misi yang sama.[kom]

___

 

 

Pada tahun 2011, tiga lembaga besar yakni Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Islamic Development Bank (IDB) melakukan sebuah riset. Riset ini meneliti bagaimana potensi zakat di Indonesia dan peluangnya dalam penekanan kemiskinan serta pemberdayaan.

Sebuah angka yang fantastis pun muncul dari riset ini. Setidaknya Indonesia memiliki potensi pengumpulan dana zakat mencapai 210 triliun. Angka yang tidak sedikit dan mencengangkan.

Angka ini, apabila mampu dihimpun akan menjadi suatu kekuatan baru bagi perekonomian dan perkembangan kehidupan umat muslim. Mulai dari penekanan angka kemiskinan, peningkatan ekonomi umat, penguatan pendidikan, hingga dakwah Islam akan semakin menyebar dengan rata.

Sayangnya, dari angka yang begitu besar, zakat di Indonesia nyatanya baru mampu dikumpulkan sebanyak 6 triliun. Maka, jika dihitung ada 204 triliun lagi zakat yang harusnya dapat dihimpun.

Meski demikian, tak bisa dipungkiri, kesadaran umat akan kekuatan dana zakat dari tahun ke tahun terus meningkat. Ini terlihat dari angka perhimpunan zakat yang terus meningkat. Tercatat sekitar 27% kenaikan terjadi sejak 2001-2016. Angka yang lebih besar bahkan dibanding dengan kenaikan ekonomi Indonesia yang hanya 5,4%.

Semua ini menunjukkan kekuatan dan potensi zakat makin terus disadari oleh umat Islam. Untuk mampu mencapai angka total 210 triliun inilah, dibutuhkan gerak dari seluruh pihak termasuk umat muslim sendiri.

Kesadaran umat harus terus dibentuk tentang zakat ini. Dengan perkembangan teknologi, sebenarnya kesadaran ini semakin dipermudah untuk dibentuk. Maka, menjadi pekerjaan rumah salah satunya bagi lembaga amil zakat untuk membangun kesadaran ini.

Lembaga amil menjadi badan yang memiliki kuasa bahkan kewajiban untuk mengerjakan hal-hal ini. Lembaga amil tidak hanya bekerja menerima dan menyalurkan, tapi edukasi penekanan kemanfaaatan zakat adalah hal yang sebenarnya menjadi salah satu kunci.

Jika ditelaah, umat sebenarnya sudah tahu betul akan kewajiban zakat ini. Masalahnya, pengetahuan tersebut tidak sempurna. Apa saja yang harus dizakatkan, berapa jumlah batasannya, dan segala hal-hal detail mengenai zakat masih belum diketahui.

Kebanyakan masih menganggap zakat hanya sebatas zakat fitrah, zakat profesi, dan zakat pertanian. Padahal, ada lagi jenis-jenis lainnya yang mungkin saja umat sebenarnya memiliki harta tersebut tapi tidak sadar bahwa item itu terkena zakat.

Ada pula yang bermasalah dengan ketidaktahuan akan jumlah dan cara perhitungan. Pun jika mengetahui hanya sebatas angka-angka tanpa tahu perhitungan lebih lanjutnya. Sehingga akhirnya merasa bukan seorang yang wajib berzakat.

Hal-hal lain yang menjadi kendala perlu ditelaah bersama, agar lembaga amil dapat menentukan strategi yang tepat. Diperlukan sinergi antar lembaga amil dan juga lembaga terkait lainnya. Sehingga potensi 210 triliun zakat tidak lagi hanya sekedar angka.

__

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.