Tidak dapat dipungkiri, profesi amil masih sering dianggap remeh oleh kaum muslim. Amil bahkan dianggap pekerjaan sampingan apalagi saat bulan Ramadhan. Padahal amil di dalam Islam mendapatkan tempat sendiri yang sangat penting dan tidak tepat jika diremehkan.
Dalam surat At-Taubah ayat 60, secara jelas disebutkan “amil” sebagai salah satu dari mereka yang berhak mendapatkan manfaat zakat. Jika diperhatikan, penentuan asnaf yang delapan dalam ayat ini tidaklah ditetapkan secara asal. Akan tetapi ada hikmah dan alasan di setiap kategorinya, termasuk amil.
Sebelumnya, perlu dipahami dulu istilah amil itu sendiri yang sering disalahartikan dengan wakil. Menurut mufassir, amil zakat dalam ayat sebelumnya adalah orang yang bertugas mengurus zakat dan mendapat bagian dari zakat tersebut.
Secara umum menurut jumhur, amil adalah orang yang ditugaskan pemimpin negara untuk mengambil zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak sebagaimana diperintahkan Allah. Adapun Hafidhuddin mendefiniskannya sebagai mereka yang melaksanakan segala kegiatan berkaitan dengan urusan zakat, mulai dari penghimpunan, penjagaan, pemeliharaan, distribusi, hingga pencatatan masuk dan keluarnya dana zakat.
Dari pengertian di atas jelas bahwa yang dapat dikatakan amil adalah mereka yang memang diberi amanah oleh pemimpin dan ditetapkan oleh pihak lain.
Adapun wakil, seperti panitia zakat di masjid-masjid saat Ramadhan berbeda dengan amil. Wakil tidak ditunjuk oleh negara melainkan ditunjuk secara pribadi oleh muzakki ataupun menunjuk dirinya sendiri sebagai amil. Wakil tidak berhak atas upah dari zakat. Jika wakil diberikan upah harus dengan harta di luar zakat karena tidak lagi tergolong asnaf yang delapan.
Amil bukanlah perkara yang sederhana. Tanggung jawab seorang amil sangat berat karena bertanggung jawab bukan pada manusia semata melainkan pada umat dan lebih tinggi pada Allah. Sebab seorang amil mengurus harta milik umat yang bisa saja jika tidak amanah dan dapat diselewengkan.
Itulah mengapa amil ditunjuk oleh pemimpin dari orang-orang terpercaya yang mampu menjaga harta umat. Penjagaan yang tak mudah ini pula yang menjadi hikmah mengapa amil boleh memeroleh upah dari zakat.
Islam begitu menghargai amil hingga dipilih sebagai salah satu penerima zakat diurutan awal. Dalam Islam, posisi amil sangat penting karena kesuksesan pengumpulan, pengelolaan, dan penyaluran zakat tergantung bagaimana amanah dan tanggung jawab amil. Kalaulah tidak ada yang mau menjadi amil, harta zakat akhirnya tidak memberikan manfaat sesuai tujuan awal perintahnya.
Amil ibarat benang yang jika mesin jahitnya bagus sekalipun tapi tidak ada benangnya, maka tidak akan pernah ada pakaian yang dihasilkan. Tidak ada gunanya mesin yang bagus itu jika tanpa sehelai benang pun melekat di sana. Itulah posisi amil. Amil adalah penggerak, amil adalah tangan-tangan umat, amil ibarat tentara-tentara Allah dalam urusan perekonomian zakat.
Maka sudah sepantasnya bagi umat Islam tidak merendahkan profesi amil. Amil memang pelayan umat, tapi bukan berarti kita berhak merendahkan profesi ini. Sebab Allah saja meninggikan posisi mereka. Allah memberikan keistimewaan yang tidak diberikan pada profesi lain.
Amil adalah bagian dari kekuatan umat. Patut kiranya kita mendukung orang-orang dengan profesi amil. Memberikan mereka hak yang pantas dan memastikan kesejahteraan mereka demi keberlangsungan ekonomi zakat umat sendiri.
Bagaimana mungkin kita bisa memberikan fasilitas dan sarana yang begitu lengkap untuk “pegawai dunia” sementara memberikan apa adanya bagi “pegawai agama”? Padahal jelas bagi kita kerja seorang amil yang berdedikasi untuk akhirat. Jadi, marilah merubah pola pikir kita tentang amil. Jangan direndahkan tapi berikanlah dukungan terbaik.
_