Oleh: Eka Wardhana
Pertanyaan di atas wajar bila muncul dari anak-anak sekolah yang mulai belajar sains. Kenapa begitu? Karena di buku-buku sains sekolah tak disebut satu pun nama “Allah”. Nama Allah digantikan dengan kata “Alam” atau “Mother Nature” atau “Evolusi”.
Karenanya konsekuensinya jadi wajar pula, bila ketika sudah besar dan disuruh shalat misalnya, anak akan bertanya: “Untuk apa aku menyembah sesuatu yang tidak terlihat? Selama bertahun-tahun belajar sains aku dididik untuk percaya pada apa yang aku lihat!”
Itu pula yang terjadi pada para ilmuwan besar bahkan yang jenius seperti Stephen Hawking sekalipun. Begitu banyak rahasia alam yang mereka temukan tetapi mereka gagal menemukan satu hal hakiki: siapa sebenarnya pencipta semua rahasia yang mereka gali dan temukan itu! Sangat ironis! Mungkin tak ada hal paling ironis di dunia ini selain para ilmuwan jenius yang tidak mengenal tuhannya. Seironis dokter yang perokok atau ahli kesehatan yang peminum minuman keras.
Jadi, sebelum nanti anak akan bertanya dengan penuh keraguan, “Ayah dan Bunda, benarkah Allah pencipta alam ini?”, yok cepat-cepat install ke otaknya tentang Allah Mahapencipta.
Karena itu saat terpesona melihat debur pantai, jangan hanya bilang, “HOREE! Yuk kita berenang!”. Saat seperti itu janganlah lupa menyebut nama Allah di depan anak-anak dan ingatkan bahwa Allah di balik semua ciptaan ini. Bila terkagum-kagum melihat pemandangan pegunungan yang indah, jangan cuma bilang, “Gila! Keren banget!”, tapi sebutlah semisal: “Masyaa Allah! Hanya Allah yang mampu menciptakan gunung seindah ini!” di depan anak-anak.
Tetapi bila kadung terlanjur dan anak mulai meragukan Allah sebagai Mahapencipta, sadarkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan kritis semisal: “Bila alam semesta ini tidak diciptakan Allah, siapakah yang menciptakannya?”
Mungkin anak akan menjawab, “Alam kan terjadi secara kebetulan!”
Maka jawablah, “Anakku sayang, alam semesta ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan! Bahkan tidak ada teknologi secanggih apapun yang bisa membuatnya. Bayangkan, sebuah sel hidup yang merupakan unit terkecil kehidupan saja, jauh lebih rumit dan tidak akan pernah bisa dibuat oleh teknologi manusia yang semaju apapun.
“Perhatikan, Anakku sayang, untuk menyusun sebuah bakteri sederhana saja diperlukan 2.000 jenis protein yang berbeda. Bila alam semesta terjadi secara kebetulan, peluang untuk membentuk bakteri sederhana sekecil 1 berbanding 1040 alias sangat tidak mungkin!
“Padahal tubuh manusia mengandung 200.000 jenis protein yang berbeda. Masyaa allah. Sekalipun ilmuwan kelas dunia, bila ia mengatakan bahwa alam semesta terjadi secara kebetulan, dengan tegas bisa dikatakan bahwa ia adalah seorang pembohong besar!”
Mungkin anak akan berkilah, “Bagaimana mungkin para ilmuwan itu pembohong besar? Bukankah mereka adalah orang-orang pintar? Ayah dan Bunda sendiri tidaklah sepintar mereka!”
Jawablah semisal: “Karena logika sederhananya tidaklah mungkin menciptakan sesuatu yang ada dari ketidakadaan. Bila kamu melihat kue di meja, kamu tahu pasti ada yang membuatnya. Lalu mengapa bila kamu melihat alam semesta kamu bilang tidak ada penciptanya? Padahal alam semesta ini jauh lebih rumit dari sepotong kue?”
Tambahkan penjelasan dari Al-Qur’an, semisal ayat ini:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah, Yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan kemudian, Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari dan bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-A‘raaf [7]: 54)
Ajak anak keluar di malam hari dan tunjuklah langit sambil mengatakan semisal: “Bila kita memandang langit malam yang cerah, kita akan melihat bahwa alam semesta sangat luas. Begitu luasnya sampai sampai sangat sukar dibayangkan. Manusia perlu waktu berabad-abad untuk bisa mengira-ngira besarnya alam semesta. Segala ukuran seperti diameter bumi, jarak ke bulan, jarak ke matahari, jarak ke bintang terdekat, jarak ke pusat galaksi, jarak antar galaksi, sedikit demi sedikit ditemukan para ilmuwan, mulai dari ilmuwan muslim pada masa kejayaannya sampai ke masa ilmuwan modern masa kini. Ilmu dan teknologi seolah tak berhenti mengenali luasnya alam semesta.”
Lalu tutup dengan mengatakan semisal: “Sampai sekarang para ilmuwan atheis (orang yang tidak mau mengakui adanya tuhan) masih gigih berpendapat bahwa alam semesta itu terjadi secara kebetulan. Padahal sudah ribuan tahun kitab-kitab suci seperti Taurat, Injil dan Al-Qur’an menyatakan bahwa alam semesta dan isinya diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari ketiadaan. Karang dan baja sangat keras, tetapi lebih keras hati orang kafir yang tidak mau mengakui Allah lah Pencipta alam semesta ini.”
Ayah dan Bunda, kadang perlu energi ekstra memahamkan anak tentang ciptaan Allah. Sebab dari buku-buku sains di sekolah, bahkan dari guru-guru sains tak pernah terlontar satupun nama Allah. Meski seharusnya nama Allah lah yang paling banyak disebut dalam dunia sains.
Yuk, ajak anak mengingat Allah lewat sains. Selain bertafakkur di alam, saat membantu anak belajar biologi dan fisika, sebut nama Allah banyak-banyak. Meski nama Allah tak dilihatnya di buku, nama Allah akan terngiang di telinga anak karena telah diucapkan oleh ayah bundanya.
Belajar sains itu utamanya bukan untuk dapat nilai bagus, tetapi untuk lebih mengenal Allah!