Oleh : Yuria Pratiwhi CleoPatra
Pagi-pagi, Bibing dateng ke Ummi
“Setor, Mi” katanya. Ummi langsung ngangguk. Alhamdulillah, makin rajin nih. Padahal kemarin udah murajaah juga surat yang sama.
Hari Jum’at kemarin juga, pas Abi dan Ummi ke bank, pulangnya Bibing bilang “Mi, aku udah matematika sama Bahasa Inggris”
Good job. In syaa Allah sebentar lagi, di usia 10 tahun Bibing siap belajar mandiri.
Jadi..jadi gimana caranya supaya anak bisa belajar mandiri? Koq anak saya kelas satu SD masih harus disuruh terus kalau belajar. Koq anak saya kelas lima SD masih dikejar-kejar buat ngerjain tugas? Koq anak saya udah SMA masih ngga peduli kalau besok mau ujian? Koq anak saya udah kuliah ngga lulus-lulus?
Prinsipnya, mandiri itu berarti sukarela. Sukarela itu akan didapat kalau anak sudah sadar akan kewajiban. Sadar akan kewajiban akan datang kalau anak ngerasa butuh. Semua ada prosesnya.
Memaksa anak kelas satu SD duduk manis mengikuti jadwal, bisa jadi hanya akan sia-sia. Dia duduk terpaksa, ingin kelasnya segera selesai. Gelisah, ngga sabar. Ngga paham apa yang sedang dia pelajari, dan kenapa dia harus menderita mempelajari semua itu.
Jika dia dibiasakan dengan proses keterpaksaan itu, di masa mendatang mungkin dia akan terus melakukannya. Dan tetap dengan terpaksa. Harus disuruh-suruh, diingatkan, ditegur, bahkan diancam karena dia tak kunjung paham esensi belajarnya.
Nah, untuk Bibing dan de Ihsan, saya menerapkan proses bertahap menuju kemandirian.
Usia pra SD, saya memberlakukan prosedur free style. Ngga ada jadwal, hanya target saja. Misal de Ihsan usia 4 tahun targetnya bisa menguasai A,B,C, maka saya akan mengajarnya kapan saja, dimana saja, disesuaikan dengan aktivitas yang sedang dia kerjakan. Mengajarkan penjumlahan saat dia ingin main kartu. Mengajarkan keseimbangan saat dia ingin main sepeda. Mengajarkan fungsi makanan saat dia sedang makan, dll.
Usia 6-7 tahun, Bibing mulai kenal jadwal harian. Hari Rabu berenang. Hari Jum’at lari. Belum ada jadwal strict seperti jam 08.00 ngapain, jam 09.00 ngapain. No. Karena sense bahwa se jam itu segini aja dia belum dapet, jadi nanti saja kita buatkan jadwal dengan jam, kalau dia sudah paham.
Sambil melakukan aktivitas, sambil kita sounding why nya. Kenapa harus belajar berenang? Kenapa harus lari? Apa sih asyiknya belajar matematika? Kenapa kita belajar bahasa Inggris? Kenapa harus menghapal al Qur’an? Ini kita diskusikan terus sampai anak merasa paham dan butuh. Sampai anak jatuh cinta dengan aktivitasnya.
Misal abis lari, kita tanya, “Gimana, Bing larinya hari ini? Alhamdulillah makin cepet ya? Pegel kayak kemarin ngga?”. Semakin sering lari, ternyata badannya semakin bugar, dia semakin segar, larinya juga makin jauh dan kencang. Jadi dia hepi.
Belajar bahasa Inggris juga gitu. Abis belajar bahasa Inggris, dia jadi bisa nonton youtube berbahasa Inggris, baca resep berbahasa Inggris, dia merasakan banyak kemudahan setelah belajar. Jadi, dia semangat belajar dan senang.
Usia 7-9 tahun, kita mulai masuk ke jadwal penggalan hari. Pagi, siang, sore, malam. Senin pagi jadwalnya apa, Rabu siang jadwalnya apa, Sabtu malam jadwalnya apa. Masih belum pake jam. Dia boleh milih paling enjoy ngerjain aktivitas kapan. Misalnya dia suka tilwah ba’da Isya, ya boleh saja. Dia suka bikin kue bada Ashar, ya silahkan saja.
Di usia 9 tahun, mulai ada beberapa kegiatan ekstra yang dia ikuti. Mulai pake jam. Ada agenda belajar komik hari apa jam berapa. Ada agenda belajar bahasa Arab hari apa jam berapa. Sisanya masih bebas. Ada batasan baru boleh pegang gadget setelah jam 14.00.
Jadi mengenalkan jamnya pun bertahap. Ngga langsung detil semua.
In syaa Allah, usia 10 nanti, Bibing sudah akan membuat jadwal detilnya sendiri. Ummi tinggal acc aja . Selanjutnya, in syaa Allah akan melesat mempelajari banyak hal jauh melampaui apa yang Ummi harapkan. Seperti para kakak.
Aamiin..yaa Robb