Ibadah, Pengetahuan Umum

Zakat Adalah Sebuah Sistem Ekonomi

Saya agak terkejut membaca pernyataan DR. Sa’id Hawwa tentang zakat dalam kitabnya, Al-Islam, Zakat adalah penalti bagi Penimbun Harta!

 

“Islam…”, ujar beliau, “tak menginginkan harta itu tersimpan diam tak berputar. Maka bagi yang menyimpan hartanya lebih dari nishab, dan idle -menganggur selama setahun, akan dikenakan penalti 2,5 %. Akan terus dikenakan penalti, hingga harta tersimpan itu kurang dari nishabnya”.

 

Menurut saya, ini juga sebuah batas toleransi, bahwa menyimpan harta untuk keperluan saving dibolehkan selama tak melebihi 96 gram emas, tak lebih dari satu tahun. Saya rasa ini adalah sebuah perspektif jenius, bahwa zakat menyimpan pesan, harta harus berputar, karena harta hanya akan memberikan manfaat saat ia dipergulirkan. Ia mungkin milik si kaya, namun harus berguna bagi semua.

 

Zakat menyiratkan sebuah prinsip ekonomi dalam Islam; Saving yes… deposit no! Maka zakat adalah rukun Islam, karena ia menyimpan asas perekonomian. DR Sa’id Hawwa memang menyatakan, “Jika syahadat adalah asas keimanan, shalat adalah asas peribadatan, shaum adalah asas sosial, haji adalah asas politik, maka zakat adalah asas perekonomian.”

 

“Agar harta itu tak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS Al-Hasyr: 7)

Islam menginginkan segalanya bergerak: manusia bergerak, dan hartanya pun bergerak. Manusia akan menjadi malas bergerak, jika ia dinyamankan oleh back-up jaminan harta yang melimpah-ruah. Sebaliknya, manusia akan antusias berikhtiar ketika ia menyadari bahwa saving yang ia miliki hanya cukup untuk hidup beberapa hari. Mari kita bayangkan betapa dahsyatnya kinerja Rasulullah SAW ketika beliau memutuskan memiliki saving hanya untuk kebutuhan dua hari saja (Al-Hadits). Dan mari kita bayangkan betapa hebatnya entrepreneurship seorang Muslim, ketika dia hidup mengalun bersama fluktuasi hidup, seperti Ibunda Hajar yang turun-naik Shafa-Marwah mencari air.

 

Sungguh hidup ini berputar bagai roda: kadang di atas, kadang di bawah. Hidup menyediakan peluang, bukan kepastian. Peluang ekonomi itu Islami, sedangkan kepastian ekonomi itu ribawi. Sebaliknya, spekulasi ekonomi itu judi. Maka zakat mengajarkan kita untuk tidak membenamkan harta demi kepastian ekonomi, membolehkan saving secukupnya agar hidup tak berspekulasi, lalu menggerakkan harta itu untuk meraih peluang-peluang ekonomi. Karena sebagian besar rezeki itu ada di perniagaan. Inilah bedanya hidup dengan mati : adanya gerak. Dan ini pulalah yang menyebabkan Islam menyebut aktivitas perekonomian sebagai “ma’isyah”; penghidupan.

 

Yang menjadi instrumen charity dalam Islam sebenarnya adalah infaq, karena infaq adalah wujud keikhlasan untuk menjadi seorang dermawan. Jika zakat adalah kewajiban dan paksaan, maka infaq adalah kerelaan dan kedermawanan.

 

Tak ada nishab… tak ada haul… tak ada persentase… Infaq adalah instrumen dari sistem ekonomi Islam yang digerakkan oleh zakat. Ia dapat berupa shadaqah, nafkah atau membelanjakan hartanya. Ya, bagaimanapun aktivitas belanja jauh lebih bermaanfaat daripada membenamkan harta. Dan infaq dapat dilakukan setiap saat, setiap ia dapatkan karunia Allah.

 

“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Al-Anfal: 3)

 

Mungkin rajinnya seorang Muslim berinfaq membuatnya tak sanggup untuk berzakat, karena aset cairnya tak pernah terhimpun mencapai nishab, dan tak pernah menganggur lebih dari setahun. Namun tujuan zakat justru tercapai; manusia bergerak, harta bergerak, ekonomi bergerak, akhirnya hati tergerak. Kolaborasi infaq – zakat membangun entrepreneurship dan kedermawanan sekaligus. Lalu hartanya terus bertambah dan bertambah. Kalau toh akhirnya ia akan berzakat juga, itu bukan karena ia rajin menumpuk membenamkan harta, tapi karena akumulasi rejeki yang Allah limpahkan kepadanya jauh lebih besar daripada kemampuannya untuk memutar dan menebarnya.

 

“Jika kalian bersyukur, niscaya akan Kami tambahkan {nikmat Kami) untuk kalian.” (QS Ibrahim: 7)

 

Oleh: Adriano Rusfi, Dewan Pakar YPM Salman ITB

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *